Nama : Rengga Yudha Santoso
Nim : 09400147
Kls : Semester 7 B
TUGAS MATAKULIAH ETIKA PROFESI
TENTANG RESUME MACAM-MACAM ALIRAN DALAM ETIKA PROFESI
A. ALIRAN HEDONISME DALAM BER-ETIKA PROFESI
Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua, paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad slalu kita temukan. Untuk aliran ini, kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan. Hedonisme pertama-tama dirumuskan oleh Aristippus yang salah menafsirkan ajaran gurunya, Socrates yang berkata bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan. Aristippus menyamakan kebahagian dengan kesenangan. Menurutnya, kesenangan berkat gerakan lemah, rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan sesaat yang dinikmati itu yang dihargai. Suatu perbuatan disebut baik jika dapat menyebabkan kesenangan dan memberi kenikmatan. Kebajikan menahan kita agar tidak jatuh dalam nafsu yang berlebihan yakni gerakan kasar jadi tidak menyenangkan.
“Hedonism” menurut kamus oxford memiliki makna The highest good and proper aim of human life. Menurut John Winter dalam bukunya yang berjudul Agar Langkah Hidup Anda Bahagia, mengatakan bahwa gaya hidup hedonisme diciptakan oleh sebuah zaman di mana zaman ini telah mendahulukan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu, bukan dari pikiran rasional yang nyata. Maka aliran Hedonisme ini yakni “Hidup yang berisi dengan penuh kesenangan berfoya-foya, menomorsatukan gengsi, kaum borjuis (eksklusifitas), dan terus menerus dilakukan tanpa memikirkan hal lain dan memiliki pemikiran bahwa kesenangan yang dilakukan tak lekang oleh waktu, dan mereka yang melakukan itu hanya bisa menggunakan fasilitas dari kekayaan orangtuanya, dan ciri dari aliran hedonisme ini bagi yang menjalankan adalah selalu dimanja oleh orangtuanya, bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian dari orangtuanya, karena kesibukan orang tuanya”.
Maka dari itu apabila aliran hedonism ini dikorelasikan dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
Berprofesi Sebagai Anggota Pembentuk Undang-Undang (Legislator),
Maka seorang pembentuk undang-undang ini seharusnya menkalankan profesinya sesuai dengan kode etik yang telah mengikat dirinya, contoh pelanggaran dalam kode etik ini yaitu : Hanya dapat melakukan hal-hal kesenangan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain disekitarnya yang benar-benar membutuhkan sebuah perubahan atas suatu kebijakan yang telah dinantikan, dan didalam pemikirannya selalu ada prinsip bahwa “Tercipta ataupun tidak, berjalan atau tidaknya sebuah produk Undang-Undang yang dihasilkan itu bukan masalah bagi dirinya”, maka banyak sekali produk undang-undang yang selalu tumpang tindih kewenangan, karena dalam pembentukannya tanpa menyeimbangkan rasio dan hati, hanya berfoya-foya, dan selalu menggunakan fasilitas yang ada, namun kinerjanya bagi saya pribadi 30 %.
Berprofesi Sebagai Penegak Hukum (Hakim)
Adanya konspirasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, misalkan dengan adanya penyuapan (korupsi), hal ini selalu terjadi, dan apabila dikalkulasi di Indonesia sering terjadi hal semacam ini persekian detik, menit, maupun jam. Maka seorang hakim yang seharusnya bersikap subyektif demi keadilan, akhirnya bersikap obyektif karena adanya kepentingan dengan pihak lain, hal ini telah menyalahi kode etik profesi yang ia jalankan serta menyalahi hukum di Indonesia.
B. ALIRAN EUDAEMONISME (MODERNISASI) DALAM BER-ETIKA PROFESI
Eudaemonisme yakni aliran filsafat etika yg menafsirkan tujuan manusia sehingga tercapainya kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya segala potensi manusia. Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti bahagia). Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna, ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang berhubungan dengan rasionalitas manusia.
Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian, kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas makan dan minum.
Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian, Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya) menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia. Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.
Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kendatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya, manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas penderitaan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran “eudaemonisme ini yaitu lebih mengedepankan kepentingan Individual (pribadi), kelompok tertentu, daripada kepentingan Bersama”,
Maka dari itu apabila aliran eudaemonisme ini dikorelasikan dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
Rezim Pemerintah Yang Berlandaskan Sistem Pemerintahan Demokrasi
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta, kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil. Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama. Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika “eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan bersama, padahal terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme” Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya, terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok saja, tetapi juga menyangkut kebahagiaan bersama. Maka rumusan prinsip pokok faham ini yang seharusnya adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu
a) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan,
b) kemauaan,
c) perbuatan baik, dan
d) pengetahuan batiniah.
Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya, rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.
C. ALIRAN PRAGMATISME DALAM BER-ETIKA PROFESI
Pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika. Dengan adanya pragmatisme tidak ada sosialisme di Amerika.
Abad ke-19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James, seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu,
1. Menolak segala intelektualisme ;
2. Absolutisme ;
3. Meremehkan logika formal.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Maka dapat disimpulkan dengan bahasa yang mudah yaitu bahwa Pragmatisme adalah satu pikiran yang menghubungkan teori dan praktek. Falsafah yang menekankan makna tindakan manusia dalam dunia pengetahuan dan pengalaman hidup sehari-hari.
Dalam perkembangannya, kebenaran akan disebut kebenaran bila itu dapat dibuktikan. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang mutlak, tetapi yang relatif. “Kebenaran bergantung pada ruang dan waktu. Berbeda dengan pengikut agama yang menganggap bahwa kebenaran adalah mutlak, kaum pragmatis tidak melihatnya demikian. Kalaupun ada yang disebut kebenaran, yang menjadi ukuran adalah keuntungan. Bila keyakinan memberikan faedah kepada pengikutnya, keyakinan itu akan disebut kebenaran. Bila tidak, keyakinan itu bukanlah kebenaran”. “Falsafah ini menolak eksistensi Tuhan”.
Maka dari itu apabila aliran pragmatisme ini dikorelasikan dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
Politisasi Lahirkan Pragmatisme
Partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye, lenyap begitu saja saat virus pragmatisme menjangkiti partai tersebut. Deal-deal yang muncul “hanyalah siapa memperoleh apa”.
Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi dasar eksistensi partai-partai Islam.
Contoh
“sikap partai Islam yang tengah ’kerasukan’ virus ini adalah saat berbicara tentang wanita menjadi presiden.
Haramnya wanita menjadi presiden/gubernur/walikota/bupati dipropagandakan untuk mencegah naiknya calon dari lawan politiknya. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai pemimpin. Alasannya sama, yakni kemaslahatan”.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra buruk pada Islam itu sendiri dan pada partai Islam yang hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini berlarut-larut, maka akan mendatangkan bahaya bagi upaya upaya menegakkan kembali Islam di muka bumi.
Politisasi telah masuk ke hampir seluruh sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Akibatnya, muncullah sikap pragmatisme dan oportunisme yang tidak bisa dikendalikan oleh kultur bangsa Indonesia.“Pancasila tergerus oleh sikap itu. Politisasi yang merambah ke semua lini bertemu dengan kekuasaan uang. Dalam ranah kehidupan publik, pragmatisme politik berarti mereka hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri dan kelompoknya. Bermanfaat atau menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian tetap. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan lain. Akibatnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi, rakyatlah yang jadi korban. Politik kemudian hanya sebagai alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.
Mafia Hukum Yang Bergentayangan
Negeri ini belum terlepas dari cengkeraman mafia hukum. Meski presiden telah membentuk satgas Mafia Hukum, toh beberapa oknum penegak hukum tidak merasa jerah. Kondisi itu juga mengindikasikan lemahnya pengawasan internal hakim yang dilakukan Mahkamah Agung. Selain itu, pengawasan eksternal yang merupakan kewenangan Komisi Yudisial juga dinilai belum optimal.
Lembaga peradilan negeri ini telah terbuai iming-iming pragmatisme politis, yang berujung pada skandal suap maupun korupsi di kalangan pejabat negaraAlih-alih menjadi tameng bagi terciptanya penegakan hukum secara transparan, lembaga peradilan malah dikibuli oleh rekayasa mafia peradilan yang semakin marak. Selain itu, penegak hukum juga banyak menopang rekayasa politik yang bernuansa iluminatif dan imajinatif, karena oknum yang terlibat di dalamnya melakukan dengan jalan eksklusif.
Aksi KPK menangkap para penegak hukum, menunjukkan bahwa mafia peradilan di Indonesia sudah terbilang akut dan kronis. Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi pelindung dan benteng utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Tidak heran bila Prof Abdulkadir Muhammad SH dalam buku Etika Profesi Hukum (1997), mengatakan bahwa saat ini profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis dengan tujuan utama berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus dikerjakan.
D. ALIRAN UTILITARISME (TEORI MORAL)DALAM BER-ETIKA PROFESI
Utilitarisme yakni, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number). Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka.
Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya), memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the "hedonic calculus"), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa "one man is worth just the same as another man" ada garansi bahwa dalam menghitung the greatest happiness "setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali".
Pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia beragumentasi bahwa “jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang salah, karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk memberikan kebaikan pada orang yang paling banyak”.
Dengan kata lain, Kant menempatkan benar terlebih dahulu, baru yang baik, sedangkan Bentham menempatkan baik terlebih dahulu, baru benar. Model atau mahzab yang menganut Kant disebut Kantian, sedangkan model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis. Bagi seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah, Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar ternyata tidak selalu seiring dan sejalan. Kesimpulan dari aliran Utilitarisme ini adalah
“Teori kebahagian terbesar yang mengajarkan manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik”. Oleh sebab itu, Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya asas kegunaan atau manfaat (the principle of utility). Kekuatan utilitarisme terletak dalam:
1. Rasionalitas tindakannya: tindakan harus dipilih dan dipertanggungjawabkan (maka juga menekankan tanggung jawab) apakah berguna bagi sebanyak mungkin orang atau tidak. Utilitarisme menciptakan suasana pertanggungjawaban. Segala tindakan moral tidak dapat dikatakan benar, meski sesuai peraturan abstrak sebelum dipertanggungjawabkan dari akibat-akibatnya terhadap semua pihak.
2. Universalitas akibat atau keberlakuan tindakannya: mengatasi egoismetis, utilitarisme berikhtiar mencapai kebahagiaan semua orang. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelaku itu sendiri.
Empat unsur tolok ukur utilitarisme:
1. Mengukur moralitas sebuah peraturan atau tindakan dari akibat-akibatnya.
2. Akibat-akibat yang ditimbulkan adalah akibat yang berguna.
3. Nilai utilitarisme adalah (eudemonisme) tindakan yang betul dalam arti moral adalah yang menunjang kebahagiaan.
4. Utilitarisme menuntut agar kita selalu mengusahakan akibat baik atau nikmat sebanyak-banyaknya.
Maka dari itu apabila aliran utilitarisme ini dikorelasikan dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
Degradasi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja Pemerintah Saat Ini
Bermula dari permasalahan dan kondisi masyarakat yang semakin memprihatinkan, penyelesaian kasus-kasus tidak kunjung selesai berdampak pada demontrasi dan tindakan-tindakan anarkis lainnya. Hal tersebut memberikan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai akibat kasus-kasus korupsi yang belum dapat diselesaikan dengan baik serta kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi masyarakat.
DATA menyebutkan, peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu di posisi 111. Pada 2008 posisi Indonesia naik, yakni peringkat 126. Untuk 2009, Indonesia di posisi 5 lingkungan ASEAN atau lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Kondisi saat inilah, yang menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin merosot karena hak-hak rakyat terabaikan. Sebagai dampak buruknya kebijakan yang tidak berdasarkan asas manfaat adalah kemiskinan, data BPS memberikan fakta kemiskinan di Indonesia ’’Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen), dan persentase penduduk miskin antara daerah perdesaan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini adalah ditinjau dari segi filsafat pemerintahan membutuhkan suatu paham pemikiran yang dianggap tepat guna segera keluar dari krisis yang berkepanjangan. Suatu paham atau teori yang dapat menjadi sumber bagi pembaharuan hukum dan sosial politik sekaligus pedoman bagi pelaksana pemerintahan.
Utilitarisme merupakan salah satu teori dalam filsafat moral yang mengukur tingkat moralitas berdasarkan atas nilai kegunaan. Prinsip utamanya adalah ’’suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang bersangkutan sebanyak mungkin
Otoritas yang diterapkan dalam teori utilitarisme bukan berarti menjadi kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal ini untuk membentuk citra ketegasan pemerintah sebagai seorang pemimpin. Diharapkan pemimpin agar tidak ragu-ragu dalam menetapkan suatu keputusan.
Keraguan hanya membuat masyarakat semakin memandang pemimpin tidak mampu menjalankan kepemimpinannya yang mengakibatkan hilangnya wibawa di mata rakyat. Keputusan yang baik adalah keputusan yang memberikan efek positif kepada masyarakat banyak, meski ada beberapa hal yang harus dikorbankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar