Tinjauan Hukum Atas Larangan Terbang Uni Eropa Terhadap Penerbangan Sipil Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara.
Atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. (http://ec.europa.eu/transport/air-ban/furtherinfo_en.htm)
Pemerintah Indonesia sangat menentang ketentuan larangan tersebut. Pemerintah sebagai regulator memang mengakui bahwa sepanjang tiga sampai lima tahun terakhir telah banyak terjadi kecelakaan udara. Namun, sebagai regulator, pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki itu semua. Komitmen pemerintah tersebut dapat dilihat dengan lahirnya sebuah deklarasi antara Pemerintah Indonesia dengan ICAO tanggal 2 Juli 2007 di Bali. Deklarasi tersebut memuat komitmen pemerintah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan sipil (http://www.icao.int/PIO/04/07). Pemerintah mengeluarkan deklarasi tersebut demi mengembalikan citra penerbangan sipil nasional yang telah tercoreng akibat banyaknya kecelakaan yang terjadi.
Usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia harusnya menjadi rujukan bagi masyarakat internasional bahwa Indonesia sungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil nasional. Akan tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia ternyata masih dianggap kurang oleh Uni Eropa. Uni Eropa dalam rilis terakhirnya belum juga mencabut larangan terbang bagi pengangkut dari Indonesia untuk melintas di atas wilayahnya. Hal ini dikemukakan oleh Duta Besar Ad Interim Uni Eropa untuk Indonesia, Pierre Philippe. Beliau menyatakan:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara.
Atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. (http://ec.europa.eu/transport/air-ban/furtherinfo_en.htm)
Pemerintah Indonesia sangat menentang ketentuan larangan tersebut. Pemerintah sebagai regulator memang mengakui bahwa sepanjang tiga sampai lima tahun terakhir telah banyak terjadi kecelakaan udara. Namun, sebagai regulator, pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki itu semua. Komitmen pemerintah tersebut dapat dilihat dengan lahirnya sebuah deklarasi antara Pemerintah Indonesia dengan ICAO tanggal 2 Juli 2007 di Bali. Deklarasi tersebut memuat komitmen pemerintah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan sipil (http://www.icao.int/PIO/04/07). Pemerintah mengeluarkan deklarasi tersebut demi mengembalikan citra penerbangan sipil nasional yang telah tercoreng akibat banyaknya kecelakaan yang terjadi.
Usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia harusnya menjadi rujukan bagi masyarakat internasional bahwa Indonesia sungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil nasional. Akan tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia ternyata masih dianggap kurang oleh Uni Eropa. Uni Eropa dalam rilis terakhirnya belum juga mencabut larangan terbang bagi pengangkut dari Indonesia untuk melintas di atas wilayahnya. Hal ini dikemukakan oleh Duta Besar Ad Interim Uni Eropa untuk Indonesia, Pierre Philippe. Beliau menyatakan:
“Indonesia memperlihatkan kemajuan dalam meningkatkan keselamatan penerbangan terutama satu tahun terakhir sejak dimulainya pelarangan terbang. Tetapi, kami menilai masih ada hal-hal yang harus ditingkatkan, antara lain inspeksi oleh regulator terhadap maskapai.” (Kompas, Jumat, 25 Juli 2008)
Pernyataan tersebut mengandung bias, di satu pihak Uni Eropa mengakui adanya perbaikan, namun mereka tetap tidak mencabut larangan terbang. Pernyataan tersebut ditanggapi oleh pemerintah melalui Menteri Perhubungan, Jusman Safeii Djamal, menurut beliau sebanyak 61 persen dari 69 persen temuan Komisi Eropa atas persoalan keselamatan penerbangan telah diperbaiki. Sisanya berupa revisi regulasi, diantaranya revisi Undang-Undang Penerbangan No. 15 tahun 1992. Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda juga melakukan kritik bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan dengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa (Kompas, Sabtu, 26 Juli 2008).
Perbedaan pendapat antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa mengenai larangan terbang tersebut harus ditempatkan dalam bingkai hukum internasional. Meskipun, dalam sebuah hubungan internasional tidak dapat dihindari sebuah kepentingan politik nasional tiap pihak, namun dalam konteks masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional harus menjadi acuan utama.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis ingin mencoba melakukan sebuah penelitian kecil tentang permasalahan larangan terbang Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia dilihat dari sisi hukum internasional.
Perbedaan pendapat antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa mengenai larangan terbang tersebut harus ditempatkan dalam bingkai hukum internasional. Meskipun, dalam sebuah hubungan internasional tidak dapat dihindari sebuah kepentingan politik nasional tiap pihak, namun dalam konteks masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional harus menjadi acuan utama.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis ingin mencoba melakukan sebuah penelitian kecil tentang permasalahan larangan terbang Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia dilihat dari sisi hukum internasional.
B. Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian kecil ini adalah:
1) Apakah larangan terbang yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut sipil dari Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum internasional?
2) Bagaimanakah cara penyelesaian yang tepat atas sengketa tersebut?
1) Apakah larangan terbang yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut sipil dari Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum internasional?
2) Bagaimanakah cara penyelesaian yang tepat atas sengketa tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Larangan Terbang Menurut Hukum Internasional
Masalah kedaulatan negara pada awalnya merupakan sesuatu yang prinsip pada saat membahas masalah kegiatan di ruang udara. Perkembangan hukum udara dan angkasa internasional pada dasarnya membahas mengenai kedaulatan negara. Diawali dengan Konferensi Paris 1910 dan ditutup dengan Konferensi Chicago 1944, sebuah definisi berdasarkan perjanjian multilateral akhirnya dapat dicapai. Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara peserta mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorialnya (Pasal 1 Konvensi Chicago 1944).
Dampak dari ketentuan tersebut adalah setiap negara berhak menentukan peraturan nasionalnya atas wilayah udaranya. Namun, tetap terdapat hak melintas (over fly) bagi penerbangan tidak berjadwal, sedangkan untuk penerbangan berjadwal dibutuhkan izin dari negara kolong (Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944). Konvensi Chicago pada dasarnya ingin meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan sipil internasional yang dapat saling menukarkan hak-hak penerbangan (five freedom of the air) secara multilateral serta menjamin keamanan, keselamatan, kecepatan, kelancaran dan ketertiban pengangkut udara internasional (K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm.33).
Konvensi Chicago 1944 ternyata gagal untuk mencapai kesepakatan mengenai pertukaran jasa pengangkut udara secara multilateral. Kegagalan tersebut sebenarnya dapat dilihat sejak Konferensi Paris 1910 dan 1919, akan tetapi pada tahun 1928 lahirlah konvensi Havana yang berjudul Convention on Commercial Aviation . Konvensi tersebut mengatur tukar-menukar jasa pengangkut udara komersial secara multilateral selain pengaturan tentang teknis dan operasional, namun dalam prakteknya hal tersebut belum dapat dilaksanakan (ibid.,hlm.30.)
Perjanjian-perjanjian pertukaran jasa pengangkut komersial banyak dilakukan secara bilateral. Perjanjian penerbangan bilateral pertama kali dilakukan antara Perancis dan Jerman tahun 1913. Perjanjian tersebut memuat antara lain bahwa pesawat udara Perancis boleh terbang ke Jerman dan sebaliknya pesawat udara Jerman boleh terbang ke Perancis. Perkembangan berikutnya adalah perjanjian-perjanjian sebelum perang dunia kedua banyak dilakukan antara maskapai penerbangan, akan tetapi setelah perang dunia kedua berakhir, perjanjian bilateral dilakukan antarpemerintah.
Untuk mengatasi kegagalan Konvensi Chicago 1944 tersebut, maka masyarakat internasional membuat International Air Service Transit Agreement (IASTA) dan International Air Transport Agreement (IATA), 1944. Pada prinsipnya ketiga ketentuan tersebut juga memuat pengaturan mengenai penerbangan sipil komersil, namun ketiga ketentuan tersebut belum sepenuhnya berhasil membuat kesepakatan secara multilateral, contohnya penetapan tarif angkutan udara (E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm. 17)
Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya mengatur mengenai hal :
a) Hak-Hak Penerbangan
b) Rute Penerbangan
c) Kapasitas Pengangkut Udara
d) Tarif Jasa Pengangkut Udara
Masalah kedaulatan negara pada awalnya merupakan sesuatu yang prinsip pada saat membahas masalah kegiatan di ruang udara. Perkembangan hukum udara dan angkasa internasional pada dasarnya membahas mengenai kedaulatan negara. Diawali dengan Konferensi Paris 1910 dan ditutup dengan Konferensi Chicago 1944, sebuah definisi berdasarkan perjanjian multilateral akhirnya dapat dicapai. Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara peserta mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas teritorialnya (Pasal 1 Konvensi Chicago 1944).
Dampak dari ketentuan tersebut adalah setiap negara berhak menentukan peraturan nasionalnya atas wilayah udaranya. Namun, tetap terdapat hak melintas (over fly) bagi penerbangan tidak berjadwal, sedangkan untuk penerbangan berjadwal dibutuhkan izin dari negara kolong (Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944). Konvensi Chicago pada dasarnya ingin meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan sipil internasional yang dapat saling menukarkan hak-hak penerbangan (five freedom of the air) secara multilateral serta menjamin keamanan, keselamatan, kecepatan, kelancaran dan ketertiban pengangkut udara internasional (K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm.33).
Konvensi Chicago 1944 ternyata gagal untuk mencapai kesepakatan mengenai pertukaran jasa pengangkut udara secara multilateral. Kegagalan tersebut sebenarnya dapat dilihat sejak Konferensi Paris 1910 dan 1919, akan tetapi pada tahun 1928 lahirlah konvensi Havana yang berjudul Convention on Commercial Aviation . Konvensi tersebut mengatur tukar-menukar jasa pengangkut udara komersial secara multilateral selain pengaturan tentang teknis dan operasional, namun dalam prakteknya hal tersebut belum dapat dilaksanakan (ibid.,hlm.30.)
Perjanjian-perjanjian pertukaran jasa pengangkut komersial banyak dilakukan secara bilateral. Perjanjian penerbangan bilateral pertama kali dilakukan antara Perancis dan Jerman tahun 1913. Perjanjian tersebut memuat antara lain bahwa pesawat udara Perancis boleh terbang ke Jerman dan sebaliknya pesawat udara Jerman boleh terbang ke Perancis. Perkembangan berikutnya adalah perjanjian-perjanjian sebelum perang dunia kedua banyak dilakukan antara maskapai penerbangan, akan tetapi setelah perang dunia kedua berakhir, perjanjian bilateral dilakukan antarpemerintah.
Untuk mengatasi kegagalan Konvensi Chicago 1944 tersebut, maka masyarakat internasional membuat International Air Service Transit Agreement (IASTA) dan International Air Transport Agreement (IATA), 1944. Pada prinsipnya ketiga ketentuan tersebut juga memuat pengaturan mengenai penerbangan sipil komersil, namun ketiga ketentuan tersebut belum sepenuhnya berhasil membuat kesepakatan secara multilateral, contohnya penetapan tarif angkutan udara (E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm. 17)
Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya mengatur mengenai hal :
a) Hak-Hak Penerbangan
b) Rute Penerbangan
c) Kapasitas Pengangkut Udara
d) Tarif Jasa Pengangkut Udara
Materi perjanjian tersebut dipengaruhi oleh perjanjian udara Bermuda tahun 1946 antara Inggris Raya dan Amerika Serikat. Konvensi Bermuda tersebut memiliki karakteristik liberal dalam hal penentuan rute penerbangan serta pengaturan yang fleksibel dalam hal kapasitas angkutan udara. Konvensi tersebut merupakan kompromi dari dua prinsip yang bertentangan, yakni Amerika yang menganut liberalisme ruang udara dan Inggris yang protektif. Prinsip terpenting dari Konvensi Bermuda tersebut adalah “ fair and equal oppurtunity” dalam pelaksanaan jasa angkutan udara yang didasari dari volume lalu lintas dari dan ke negara masing-masing (I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, An Introduction To Air Law, Kluwer, Netherlands, 1988, hlm. 42). Konvensi Bermuda 1946 pada kemudian hari menjadi sebuah acuan utama bagi setiap negara untuk menyusun perjanjian jasa pengangkut udara sipil komersil selain Chicago Standard Form Agreement dan European Civil Aviation Conference Standard Form (K. Martono dan Usman Melayu, loc.cit., hlm 41-42)
Perjanjian pengangkut udara secara bilateral pada dasarnya juga menganut aturan-aturan berdasarkan kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Layaknya semua perjanjian internasional maka pastinya para pihak harus mematuhi asas-asas dalam perjanjian internasional, yaitu “Pacta Sun Servanda” serta “Good Faith”. Kedua prinsip tersebut telah menjadi bagian dari kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Hal ini berarti para pihak perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Kesepakatan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944 merupakan kesepakatan dari sekian negara untuk membentuk sebuah unifikasi perjanjian pengangkut udara sipil internasional. Meskipun belum semua terpenuhi dalam konvensi, namun selayaknya para pihak tetap mengormati ketentuan yang terdapat dalam konvensi. Memang, pada dasarnya setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya, sehingga dapat secara unilateral mengadakan pembatasan-pembatasan. Hal tersebut memang dijamin oleh konvensi, seperti kawasan udara terlarang( Pasal 9 Konvensi Chicago 1944), penentuan tempat pendaratan untuk penerbangan tidak berjadwal (Pasal 5 Konvensi Chicago 1944) dan yang lainnya. Akan tetapi, tindakan-tindakan unilateral tersebut tidak boleh mengganggu keberlangsungan penerbangan sipil internasional.
Salah satu tindakan unilateral yang dapat dilakukan adalah mengenai larangan terbang bagi maskapai dari negara tertentu demi alasan keamanan dan keselamatan negaranya. Dalam setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada diskriminasi perlakuan.
Tindakan larangan terbang dalam hal demi keamanan sangat tergantung dengan kebijakan nasional. Tindakan tersebut dilakukan karena negara-negara yang melakukannya beranggapan bahwa hukum internasional tidak dapat menjamin keamanan nasional mereka. Atas asumsi tersebut mereka membuat ketentuan-ketentuan pembatasan penggunaan ruang udara mereka bagi pesawat-pesawat dari negara lain. Konvensi Chicago memang memberikan diskresi kepada negara peserta untuk membuat aturan-aturan unilateral atau bilateral perihal ketentuan yang belum diatur oleh konvensi (Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 296)
Selain masalah keamanan, keselamatan merupakan faktor terpenting dalam penerbangan sipil internasional. Perihal keselamatan semakin kompleks dan memiliki karakter multinasional ketika volume operasi pesawat udara sipil semakin meningkat yang melintasi batas-batas negara. Kesulitan terjadi karena pengangkut udara sipil pada saat ini menggunakan sistem sewa dalam operasionalnya. Hal ini akan menyulitkan karena dapat terjadi perbedaan antara negara tempat pesawat itu terdaftar serta negara asal operator pengangkut udara tersebut. Perbedaan tersebut berdampak pada siapakah yang bertanggungjawab apabila terjadi kelalaian. Perkembangan saat ini adalah banyak negara yang melakukan kerjasama bilateral dan multilateral untuk melakukan harmonisasi kaidah dan peraturan dengan membuat standarisasi mengenai keselamatan (Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 260)
Selain kerjasama bilateral dan multilateral, banyak negara melakukan tindakan unilateral untuk menjamin keselamatan bagi kepentingan nasional. Sebagai contoh tindakan unilateral larangan terbang adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 1992. Sejak terjadi kecelakaan atas AVIANCA B-707 pada tahun 1990, kemudian Amerika memberlakukan aturan keselamatan bagi pengangkut asing. Mereka mengharuskan setiap pengangkut udara asing minimal harus memenuhi standar minimum keselamatan yang telah diatur oleh ICAO. Apabila pengangkut tersebut tidak memenuhi standar tersebut, maka pengangkut tersebut tidak dapat terbang memasuki wilayah Amerika (op.cit., hlm. 264)
Apa yang dilakukan Amerika merupakan kewenangan nasional mereka. Tindakan mereka tidak dapat dianggap sebagai perlawanan terhadap usaha unifikasi yang dilakukan komunitas internasional melalui Konvensi Chicago 1944. Usaha yang dilakukan Amerika tersebut harus ditempatkan sebagai kebijakan nasional mereka untuk melindungi keamanan dan keselamatan nasional mereka. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan residu yang jamin oleh konvensi sendiri (Pasal 38 Konvensi Chicago 1944)
Tindakan Amerika tersebut pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah preseden bagi negara lain dan atau organisasi regional lainnya untuk memberlakukan kewenangan residunya tersebut demi melindungi keselamatan dan keamanan kepentingan nasional masing-masing negara. Larangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut udara dari Indonesia dapat ditempatkan dalam perspektif yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Amerika. Alasan keselamatan yang diajukan oleh Uni Eropa merupakan bagian dari hak mereka sebagai perlindungan kepentingan nasional mereka. Namun, berdasarkan hukum internasional dan kebiasaan internasional, maka Uni Eropa harus berkomitmen bahwa mereka tidak melakukannya secara diskriminatif. Dalam hal ini mereka juga harus melakukan perlakuan yang sama terhadap setiap pengangkut udara sipil baik pengangkut udara nasional maupun asing. Apabila para pengangkut tersebut belum memenuhi standar keselamatan dan keamanan yang mereka tentukan maka larangan terbang juga harus diberlakukan kepada operator tersebut.
Perjanjian pengangkut udara secara bilateral pada dasarnya juga menganut aturan-aturan berdasarkan kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Layaknya semua perjanjian internasional maka pastinya para pihak harus mematuhi asas-asas dalam perjanjian internasional, yaitu “Pacta Sun Servanda” serta “Good Faith”. Kedua prinsip tersebut telah menjadi bagian dari kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Hal ini berarti para pihak perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Kesepakatan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944 merupakan kesepakatan dari sekian negara untuk membentuk sebuah unifikasi perjanjian pengangkut udara sipil internasional. Meskipun belum semua terpenuhi dalam konvensi, namun selayaknya para pihak tetap mengormati ketentuan yang terdapat dalam konvensi. Memang, pada dasarnya setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya, sehingga dapat secara unilateral mengadakan pembatasan-pembatasan. Hal tersebut memang dijamin oleh konvensi, seperti kawasan udara terlarang( Pasal 9 Konvensi Chicago 1944), penentuan tempat pendaratan untuk penerbangan tidak berjadwal (Pasal 5 Konvensi Chicago 1944) dan yang lainnya. Akan tetapi, tindakan-tindakan unilateral tersebut tidak boleh mengganggu keberlangsungan penerbangan sipil internasional.
Salah satu tindakan unilateral yang dapat dilakukan adalah mengenai larangan terbang bagi maskapai dari negara tertentu demi alasan keamanan dan keselamatan negaranya. Dalam setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada diskriminasi perlakuan.
Tindakan larangan terbang dalam hal demi keamanan sangat tergantung dengan kebijakan nasional. Tindakan tersebut dilakukan karena negara-negara yang melakukannya beranggapan bahwa hukum internasional tidak dapat menjamin keamanan nasional mereka. Atas asumsi tersebut mereka membuat ketentuan-ketentuan pembatasan penggunaan ruang udara mereka bagi pesawat-pesawat dari negara lain. Konvensi Chicago memang memberikan diskresi kepada negara peserta untuk membuat aturan-aturan unilateral atau bilateral perihal ketentuan yang belum diatur oleh konvensi (Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 296)
Selain masalah keamanan, keselamatan merupakan faktor terpenting dalam penerbangan sipil internasional. Perihal keselamatan semakin kompleks dan memiliki karakter multinasional ketika volume operasi pesawat udara sipil semakin meningkat yang melintasi batas-batas negara. Kesulitan terjadi karena pengangkut udara sipil pada saat ini menggunakan sistem sewa dalam operasionalnya. Hal ini akan menyulitkan karena dapat terjadi perbedaan antara negara tempat pesawat itu terdaftar serta negara asal operator pengangkut udara tersebut. Perbedaan tersebut berdampak pada siapakah yang bertanggungjawab apabila terjadi kelalaian. Perkembangan saat ini adalah banyak negara yang melakukan kerjasama bilateral dan multilateral untuk melakukan harmonisasi kaidah dan peraturan dengan membuat standarisasi mengenai keselamatan (Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 260)
Selain kerjasama bilateral dan multilateral, banyak negara melakukan tindakan unilateral untuk menjamin keselamatan bagi kepentingan nasional. Sebagai contoh tindakan unilateral larangan terbang adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 1992. Sejak terjadi kecelakaan atas AVIANCA B-707 pada tahun 1990, kemudian Amerika memberlakukan aturan keselamatan bagi pengangkut asing. Mereka mengharuskan setiap pengangkut udara asing minimal harus memenuhi standar minimum keselamatan yang telah diatur oleh ICAO. Apabila pengangkut tersebut tidak memenuhi standar tersebut, maka pengangkut tersebut tidak dapat terbang memasuki wilayah Amerika (op.cit., hlm. 264)
Apa yang dilakukan Amerika merupakan kewenangan nasional mereka. Tindakan mereka tidak dapat dianggap sebagai perlawanan terhadap usaha unifikasi yang dilakukan komunitas internasional melalui Konvensi Chicago 1944. Usaha yang dilakukan Amerika tersebut harus ditempatkan sebagai kebijakan nasional mereka untuk melindungi keamanan dan keselamatan nasional mereka. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan residu yang jamin oleh konvensi sendiri (Pasal 38 Konvensi Chicago 1944)
Tindakan Amerika tersebut pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah preseden bagi negara lain dan atau organisasi regional lainnya untuk memberlakukan kewenangan residunya tersebut demi melindungi keselamatan dan keamanan kepentingan nasional masing-masing negara. Larangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut udara dari Indonesia dapat ditempatkan dalam perspektif yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Amerika. Alasan keselamatan yang diajukan oleh Uni Eropa merupakan bagian dari hak mereka sebagai perlindungan kepentingan nasional mereka. Namun, berdasarkan hukum internasional dan kebiasaan internasional, maka Uni Eropa harus berkomitmen bahwa mereka tidak melakukannya secara diskriminatif. Dalam hal ini mereka juga harus melakukan perlakuan yang sama terhadap setiap pengangkut udara sipil baik pengangkut udara nasional maupun asing. Apabila para pengangkut tersebut belum memenuhi standar keselamatan dan keamanan yang mereka tentukan maka larangan terbang juga harus diberlakukan kepada operator tersebut.
B. Larangan Terbang Uni Eropa Kepada Pengangkut Sipil Indonesia
Hasil Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan beberapa masalah dalam pengaturan penerbangan sipil internasional. Untuk mengatasi hal tersebut maka mau tidak mau kerjasama bilateral dan regional dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu organasasi regional yang sangat gencar untuk membuat unifikasi mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan sipil internasional adalah Uni Eropa.
Kesadaran untuk melakukan kerjasama tersebut merupakan inisiatif dari Dewan Eropa setalah melihat perkembangan pengangkut udara di Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara. Untuk mencapai kerjasama tersebut maka pada pertemuan parlemen dewan eropa tahun 1950 diusulkan beberapa ide yaitu :
1) Membentuk Otoritas Transport Eropa (European Transport Authority). Lembaga tersebut akan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengaturan mengenai jalan raya, kereta api, navigasi pantai, pengangkutan serta penerbangan. Usulan ini diungkapkan oleh Bonnefous perwakilan dari Perancis. Beliau mengusulkan agar otoritas tersebut berbentuk supranasional. Usulan tersebut ditolak oleh sebagian negara Eropa dengan alasan nasionalisme
2) Ide kedua dikemukakan oleh perwakilan Italia, Count Sforza. Ide beliau adalah untuk membatasi penerbangan sipil. Setiap negara harus mendelegasikan sebagian kedaulatanya untuk mencapai unifikasi dalam sektor hukum, teknik dan komersil. Beliau mengusulkan bentuk konsorsium.
3) Usul ketiga disampaikan oleh Van der Kieft, yang mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi penerbangan sipil Eropa dengan tujuan untuk mencapai kesatuan (I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, loc.cit.,hlm. 36)
Pada akhirnya disepakati bahwa dibentuklah The European Civil Aviation Conference (ECAC) pada tahun 1955. Nampaknya usulan dari Van der Kieft yang diterima oleh komunitas Uni Eropa. Tujuan dari ECAC tersebut adalah untuk melakukan unifikasi dan fasilitasi dalam hal; angkutan udara dan kerjasama dengan ICAO. Selain itu tujuan awal ECAC adalah untuk mengulas perkembangan pengangkut udara sipil di Uni Eropa, untuk promosi kerjasama demi mencapai efektivitas dalam unifikasi, memperhatikan perkembangan pengangkut udara di Eropa serta mempertimbangkan masalah-masalah yang akan timbul dikemudian hari(I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, op.cit., hlm. 37)
Pada tahun 1976 organ permanen dibentuk yang terdiri dari Directors General of Civil Aviation (DGCA). Usaha-usaha yang telah dicapai oleh ECAC adalah:
1) Perjanjian multilateral atas hak-hak komersil penerbangan tidak berjadwal di Eropa
2) Perjanjian multilateral tentang sertifikasi kelayakan udara terhadap pesawat udara impor
3) Perjanjian internasional terhadap prosedur dalam penentuan tarif atas penerbangan berjadwal (ibid)
Hasil Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan beberapa masalah dalam pengaturan penerbangan sipil internasional. Untuk mengatasi hal tersebut maka mau tidak mau kerjasama bilateral dan regional dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu organasasi regional yang sangat gencar untuk membuat unifikasi mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan sipil internasional adalah Uni Eropa.
Kesadaran untuk melakukan kerjasama tersebut merupakan inisiatif dari Dewan Eropa setalah melihat perkembangan pengangkut udara di Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara. Untuk mencapai kerjasama tersebut maka pada pertemuan parlemen dewan eropa tahun 1950 diusulkan beberapa ide yaitu :
1) Membentuk Otoritas Transport Eropa (European Transport Authority). Lembaga tersebut akan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengaturan mengenai jalan raya, kereta api, navigasi pantai, pengangkutan serta penerbangan. Usulan ini diungkapkan oleh Bonnefous perwakilan dari Perancis. Beliau mengusulkan agar otoritas tersebut berbentuk supranasional. Usulan tersebut ditolak oleh sebagian negara Eropa dengan alasan nasionalisme
2) Ide kedua dikemukakan oleh perwakilan Italia, Count Sforza. Ide beliau adalah untuk membatasi penerbangan sipil. Setiap negara harus mendelegasikan sebagian kedaulatanya untuk mencapai unifikasi dalam sektor hukum, teknik dan komersil. Beliau mengusulkan bentuk konsorsium.
3) Usul ketiga disampaikan oleh Van der Kieft, yang mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi penerbangan sipil Eropa dengan tujuan untuk mencapai kesatuan (I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, loc.cit.,hlm. 36)
Pada akhirnya disepakati bahwa dibentuklah The European Civil Aviation Conference (ECAC) pada tahun 1955. Nampaknya usulan dari Van der Kieft yang diterima oleh komunitas Uni Eropa. Tujuan dari ECAC tersebut adalah untuk melakukan unifikasi dan fasilitasi dalam hal; angkutan udara dan kerjasama dengan ICAO. Selain itu tujuan awal ECAC adalah untuk mengulas perkembangan pengangkut udara sipil di Uni Eropa, untuk promosi kerjasama demi mencapai efektivitas dalam unifikasi, memperhatikan perkembangan pengangkut udara di Eropa serta mempertimbangkan masalah-masalah yang akan timbul dikemudian hari(I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, op.cit., hlm. 37)
Pada tahun 1976 organ permanen dibentuk yang terdiri dari Directors General of Civil Aviation (DGCA). Usaha-usaha yang telah dicapai oleh ECAC adalah:
1) Perjanjian multilateral atas hak-hak komersil penerbangan tidak berjadwal di Eropa
2) Perjanjian multilateral tentang sertifikasi kelayakan udara terhadap pesawat udara impor
3) Perjanjian internasional terhadap prosedur dalam penentuan tarif atas penerbangan berjadwal (ibid)
Namun, perkembangan terakhir ECAC memperlihatkan usaha-usahanya yang lebih menitikberatkan pada sikap politik negara-negara Eropa terhadap negara ketiga daripada menjalin kerjasama dan melakukan harmonisasi penerbangan udara dalam Eropa. Ternyata dalam perkembanganya ECAC sendiri mendapat kritikan-kritikan dari negara-negara Eropa. Mereka yang melakukan kritik menganggap bahwa dengan adanya aturan regional tersebut malah membuat formasi-penghambat (bloc-formation). Hal ini didasari sebagai faktor yang menghambat unifikasi, selain alasan tersebut, kritikan dilemparkan karena beberapa pengangkut udara di Eropa memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan yang lain. Maka mereka menuntut perlakuan yang seimbang (Ibid.)
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa pengaturan multilateral di Eropa untuk mewakili kepentingan nasional negara Eropa juga mengalami kegagalan. Usulan untuk membentuk High Authority juga cukup sulit untuk dilaksanakan, karena ternyata kepentingan nasional masing-masing negara berbeda satu sama lain.
Usaha-usaha Uni Eropa untuk menciptakan unifikasi dan harmonisasi dalam hal keselamatan penerbangan berhasil terbentuk dengan dikeluakan (EC) No 1592/2002 pada 15 Juli 2002 yang mengatur aturan bersama mengenai penerbangan sipil serta pembentukan European Aviation Safety Agency (EASA). Regulasi tersebut membuat standar kesalamatan yang diberlakukan oleh Uni Eropa selain juga mengakui standar keselamatan minimum yang telah diatur dalam Konvensi Chicago dan ICAO. Standar keselamatan yang terdapat dalam regulasi tersebut terdiri dari :
1) Kelayakan udara (Pasal 5)
2) Syarat untuk perlindungan terhadap lingkungan (Pasal 6)
3) Lisensi operasi dan kru penerbangan (Pasal 7)
4) Pengakuan sertifikat (Pasal 8 )
5) Penerimaan atas persetujuan negara ketiga (Pasal 9)
6) Ketentuan Fleksibel (Pasal 10)
Dengan dikeluarkannya EASA tersebut maka diharapkan keselamatan penerbangan sipil di Eropa dapat terlaksana dengan baik. Hubungan antara Uni Eropa dengan negara ketiga juga banyak diatur dalam ketentuan EASA tersebut.
Pada saat larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia lahir pada tahun 2007. Uni Eropa mendasarkan pendapatnya pada :
1) Adanya bukti dari otoritas penerbangan sipil Indonesia bahwa kecelakaan yang dialami oleh pengangkut sipil Indonesia terjadi karena para operator tersebut tidak memenuhi persyaratan standar keselamatan.
2) Adanya rating yang dikeluarkan oleh FAA ( Amerika Serikat), yang menilai rendah tingkat keselamatan di Indonesia serta tidak dipenuhinya standar keselamatan yang diatur oleh ICAO
3) Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007 yang melaporkan bahwa kapabilitas otoritas penerbangan sipil Indonesia terhadap pengawasan keselematan sangat kurang.
4) Kompetensi otoritas penerbangan sipil Indonesia dalam melaksanakan dan menegakkan standar keselematan. Serta tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh komisi Eropa ((EC) No.787/2007)
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa pengaturan multilateral di Eropa untuk mewakili kepentingan nasional negara Eropa juga mengalami kegagalan. Usulan untuk membentuk High Authority juga cukup sulit untuk dilaksanakan, karena ternyata kepentingan nasional masing-masing negara berbeda satu sama lain.
Usaha-usaha Uni Eropa untuk menciptakan unifikasi dan harmonisasi dalam hal keselamatan penerbangan berhasil terbentuk dengan dikeluakan (EC) No 1592/2002 pada 15 Juli 2002 yang mengatur aturan bersama mengenai penerbangan sipil serta pembentukan European Aviation Safety Agency (EASA). Regulasi tersebut membuat standar kesalamatan yang diberlakukan oleh Uni Eropa selain juga mengakui standar keselamatan minimum yang telah diatur dalam Konvensi Chicago dan ICAO. Standar keselamatan yang terdapat dalam regulasi tersebut terdiri dari :
1) Kelayakan udara (Pasal 5)
2) Syarat untuk perlindungan terhadap lingkungan (Pasal 6)
3) Lisensi operasi dan kru penerbangan (Pasal 7)
4) Pengakuan sertifikat (Pasal 8 )
5) Penerimaan atas persetujuan negara ketiga (Pasal 9)
6) Ketentuan Fleksibel (Pasal 10)
Dengan dikeluarkannya EASA tersebut maka diharapkan keselamatan penerbangan sipil di Eropa dapat terlaksana dengan baik. Hubungan antara Uni Eropa dengan negara ketiga juga banyak diatur dalam ketentuan EASA tersebut.
Pada saat larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia lahir pada tahun 2007. Uni Eropa mendasarkan pendapatnya pada :
1) Adanya bukti dari otoritas penerbangan sipil Indonesia bahwa kecelakaan yang dialami oleh pengangkut sipil Indonesia terjadi karena para operator tersebut tidak memenuhi persyaratan standar keselamatan.
2) Adanya rating yang dikeluarkan oleh FAA ( Amerika Serikat), yang menilai rendah tingkat keselamatan di Indonesia serta tidak dipenuhinya standar keselamatan yang diatur oleh ICAO
3) Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007 yang melaporkan bahwa kapabilitas otoritas penerbangan sipil Indonesia terhadap pengawasan keselematan sangat kurang.
4) Kompetensi otoritas penerbangan sipil Indonesia dalam melaksanakan dan menegakkan standar keselematan. Serta tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh komisi Eropa ((EC) No.787/2007)
Empat pertimbangan tersebut yang menjadi cikal bakal larangan terbang pengangkut dari Indonesia ke Eropa. Dari keempat poin di atas, yang menjadi krusial adalah hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007. Hasil audit tersebut menunjukkan hal-hal penting mengenai keselamatan penerbangan di Indonesia. Audit tersebut memberikan rekomendasi-rekomendasi yang harus dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di Indonesia. Hasil audit dan rekomendasi dari ICAO tersebut adalah :
1) Rekomendasi terhadap Undang-Undang Penerbangan dan Ketentuan mengenai Penerbangan Sipil
2) Rekomendasi terhadap Organisasi Penerbangan Sipil
3) Rekomendasi terhadap Lisensi Personil dan Pelatihan
4) Rekomendasi terhadap Sertifikasi Pengangkut Udara dan Pengawasan
5) Rekomendasi terhadap Kelayakan Udara
6) Rekomendasi terhadap Kecelakaan Pesawat dan Penyelidikan kecelakaan
7) Rekomendasi terhadap Navigasi Udara
8 ) Rekomendasi terhadap Aerodromes (Bandara Perintis) (www.icao.int/usoap,Appendix I)
Hasil audit juga menyatakan bahwa implementasi dalam hal pengawasan keselamatan yang belum efektif dilakukan oleh Indonesia adalah:
1) Kualifikasi dan Pelatihan staf tekhnik ( 80%)
2) Sistem Penerbangan Sipil dan Fungsi Pengawasan Keselamatan (50,94%)
3) Resolusi mengenai keselamatan (50%)
4) Undang-Undang Penerbangan (41,67%)
5) Prosedur dan Petunjuk Tekhnis (38,65%)
6) Kewajiban Pengawasan (36,47%)
7) Ketentuan Khusus Pelaksanaan (33,74%)
8 ) Lisensi dan Sertifikasi (28,97%) (www.icao.int/usoap ,Appendix II)
1) Rekomendasi terhadap Undang-Undang Penerbangan dan Ketentuan mengenai Penerbangan Sipil
2) Rekomendasi terhadap Organisasi Penerbangan Sipil
3) Rekomendasi terhadap Lisensi Personil dan Pelatihan
4) Rekomendasi terhadap Sertifikasi Pengangkut Udara dan Pengawasan
5) Rekomendasi terhadap Kelayakan Udara
6) Rekomendasi terhadap Kecelakaan Pesawat dan Penyelidikan kecelakaan
7) Rekomendasi terhadap Navigasi Udara
8 ) Rekomendasi terhadap Aerodromes (Bandara Perintis) (www.icao.int/usoap,Appendix I)
Hasil audit juga menyatakan bahwa implementasi dalam hal pengawasan keselamatan yang belum efektif dilakukan oleh Indonesia adalah:
1) Kualifikasi dan Pelatihan staf tekhnik ( 80%)
2) Sistem Penerbangan Sipil dan Fungsi Pengawasan Keselamatan (50,94%)
3) Resolusi mengenai keselamatan (50%)
4) Undang-Undang Penerbangan (41,67%)
5) Prosedur dan Petunjuk Tekhnis (38,65%)
6) Kewajiban Pengawasan (36,47%)
7) Ketentuan Khusus Pelaksanaan (33,74%)
8 ) Lisensi dan Sertifikasi (28,97%) (www.icao.int/usoap ,Appendix II)
Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO secara jelas dapat diartikan bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil. Jika melihat hasil audit tersebut maka dapat dibenarkan tindakan Uni Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia. Ketentuan tersebut diputuskan berdasarkan ketentuan dalan EASA yang menganut perlindungan keselamatan penerbangan bagi warga negara mereka.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah larangan terbang yang dikeluarkan oleh Komite Eropa itu bersifat mengikat para negara-negara Eropa?. Hal ini terkait karena terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara Eropa sedangkan Indonesia tidak memiliki perjanjian penerbangan sipil dengan Uni Eropa.
Pada tanggal 30 April 2004 Komite Eropa mengeluarkan aturan (EC) No. 847/2004 tentang ketentuan mengenai perjanjian antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga. Dalam konsideran poin pertama telah dinyatakan bahwa perjanjian bilateral antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga telah terjadi sebelum ketentuan ini dikeluarkan. Akan tetapi terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa, berdasarkan putusan pengadilan Eropa, komunitas Eropa memiliki hak ekslusif atas perjanjian tersebut. Jika ketentuan tersebut demikian, apakah perjanjian pengangkut udara antara negara-negara anggota Uni Eropa menjadi batal demi hukum berdasarkan putusan dari pengadilan Eropa tersebut?.
Apabila dilihat bahwa dalam mengeluarkan (EC) No. 787/2007, Komite Eropa menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah disepakati oleh 27 negara anggota Uni Eropa, maka perjanjian bilateral sebelum ketentuan tersebut keluar menjadi batal. Dengan batalnya perjanjian pengangkut udara tersebut maka masing-masing pihak, baik pengangkut dari negara anggota Uni Eropa maupun dari Indonesia tidak dapat melintas di wilayah teritorial masing-masing, meskipun Indonesia tidak mengeluarkan larangan yang sama terhadap pengangkut sipil dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan dari Konvensi Chicago 1944, pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap penerbangan berjadwal harus mendapatkan izin dari negara kolong. Izin penerbangan sipil komersil tersebut biasanya dapat dilakukan apabila telah terjalin perjanjian pengangkut udara baik secara bilateral maupun multilateral.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah larangan terbang yang dikeluarkan oleh Komite Eropa itu bersifat mengikat para negara-negara Eropa?. Hal ini terkait karena terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara Eropa sedangkan Indonesia tidak memiliki perjanjian penerbangan sipil dengan Uni Eropa.
Pada tanggal 30 April 2004 Komite Eropa mengeluarkan aturan (EC) No. 847/2004 tentang ketentuan mengenai perjanjian antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga. Dalam konsideran poin pertama telah dinyatakan bahwa perjanjian bilateral antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga telah terjadi sebelum ketentuan ini dikeluarkan. Akan tetapi terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa, berdasarkan putusan pengadilan Eropa, komunitas Eropa memiliki hak ekslusif atas perjanjian tersebut. Jika ketentuan tersebut demikian, apakah perjanjian pengangkut udara antara negara-negara anggota Uni Eropa menjadi batal demi hukum berdasarkan putusan dari pengadilan Eropa tersebut?.
Apabila dilihat bahwa dalam mengeluarkan (EC) No. 787/2007, Komite Eropa menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah disepakati oleh 27 negara anggota Uni Eropa, maka perjanjian bilateral sebelum ketentuan tersebut keluar menjadi batal. Dengan batalnya perjanjian pengangkut udara tersebut maka masing-masing pihak, baik pengangkut dari negara anggota Uni Eropa maupun dari Indonesia tidak dapat melintas di wilayah teritorial masing-masing, meskipun Indonesia tidak mengeluarkan larangan yang sama terhadap pengangkut sipil dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan dari Konvensi Chicago 1944, pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap penerbangan berjadwal harus mendapatkan izin dari negara kolong. Izin penerbangan sipil komersil tersebut biasanya dapat dilakukan apabila telah terjalin perjanjian pengangkut udara baik secara bilateral maupun multilateral.
C. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang Uni Eropa
Setiap sengketa dalam ruang lingkup masyarakat internasional pertama kali harus merujuk pada piagam PBB. Prinsip dalam piagam adalah bahwa setiap sengketa antara negara anggota PBB harus diselesaikan secara damai sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu (Pasal 2 (3) Piagam PBB).
Menurut Diederiks-Verschoor terdapat beberapa kemungkinan jurisdiksi dalam menyelesaikan sengketa dalam masalah penerbangan, yaitu :
1) Mahkamah Internasional, dengan melihat jurusdiksi umum yang terdapat dalam pasal 36 ayat 1 Statuta.
2) Yurisdiksi berdasarkan Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
3) Sebelum sampai pada dewan (council) ICAO; maka para pihak harus menyatakan “compulsory jurisdiction”, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
4) Sebagai badan khusus PBB, ICAO, dapat meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional sesuai dengan pasal 96 (2) Piagam PBB
5) Banding terhadap putusan dewan ICAO, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
6) Opsional Yurisdiksi oleh dewan ICAO.
7) Arbitrase berdasarkan perjanjian bilateral maupun multilateral.
8 ) Arbitrase oleh Chamber dari Mahkamah Internasional.
9) Arbitrase melalui maskapai yang terdapat dalam International Air Transport Association (IATA) (.H.Ph.Diederiks-Verschoor, Settlements of Disputes in Aviation and Space, in The Use of Air and Outer Space; Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 232)
Dalam sengketa penerbangan sipil internasional maka ketentuan khusus yang dapat digunakan sudah pasti Konvensi Chicago 1944. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam pasal 84,85,86,87 dan 88. Ketentuan pasal 84 konvensi menyatakan apabila ketidaksepahaman terjadi mengenai interpretasi dan pelaksanaan konvensi serta annex-nya maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui dewan ICAO.
Mengenai larangan terbang yang diberlakukan secara unilateral oleh Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia, hal ini tidak termasuk dalam hal perbedaan interpretasi dan implementasi dari konvensi dan annex-nya. Jika demikian maka penggunaan ketentuan penyelesaian sengketa dalam konvensi Chicago 1944 tidak dapat diberlakukan dalam sengketa di atas.
Penyelesaian sengketa yang utama sudah pasti adalah melalui negosiasi. Negosiasi yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil dicabutnya larangan terbang tersebut. Indonesia harusnya mengajukan keberatan kepada ICAO, sebab Indonesia sedang berusaha untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangang sipilnya. Komitmen tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam deklarasi yang dilakukan antara Indonesia dengan ICAO di Bali tanggal 2 Juli 2007. Indonesia kemudian meminta kepada ICAO untuk meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional, apakah tindakan unilateral Uni Eropa dapat dibenarkan. Alasan yang dapat dikemukakan oleh Indonesia adalah bahwa dengan adanya larangan tersebut maka Indonesia khususnya pengangkut Indonesia mengalami kerugian secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang, melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”.
Usaha tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan Indonesia selain juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil komersil. Hal tersebut perlu dilakukan karena apabila larangan terbang tersebut dibiarkan berlarut-larut maka citra penerbangan sipil Indonesia menjadi buruk. Efek dari citra tersebut akan berdampak pada posisi Indonenesia dalam pergaulan masyarakat internasional.
Setiap sengketa dalam ruang lingkup masyarakat internasional pertama kali harus merujuk pada piagam PBB. Prinsip dalam piagam adalah bahwa setiap sengketa antara negara anggota PBB harus diselesaikan secara damai sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu (Pasal 2 (3) Piagam PBB).
Menurut Diederiks-Verschoor terdapat beberapa kemungkinan jurisdiksi dalam menyelesaikan sengketa dalam masalah penerbangan, yaitu :
1) Mahkamah Internasional, dengan melihat jurusdiksi umum yang terdapat dalam pasal 36 ayat 1 Statuta.
2) Yurisdiksi berdasarkan Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
3) Sebelum sampai pada dewan (council) ICAO; maka para pihak harus menyatakan “compulsory jurisdiction”, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
4) Sebagai badan khusus PBB, ICAO, dapat meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional sesuai dengan pasal 96 (2) Piagam PBB
5) Banding terhadap putusan dewan ICAO, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
6) Opsional Yurisdiksi oleh dewan ICAO.
7) Arbitrase berdasarkan perjanjian bilateral maupun multilateral.
8 ) Arbitrase oleh Chamber dari Mahkamah Internasional.
9) Arbitrase melalui maskapai yang terdapat dalam International Air Transport Association (IATA) (.H.Ph.Diederiks-Verschoor, Settlements of Disputes in Aviation and Space, in The Use of Air and Outer Space; Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 232)
Dalam sengketa penerbangan sipil internasional maka ketentuan khusus yang dapat digunakan sudah pasti Konvensi Chicago 1944. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam pasal 84,85,86,87 dan 88. Ketentuan pasal 84 konvensi menyatakan apabila ketidaksepahaman terjadi mengenai interpretasi dan pelaksanaan konvensi serta annex-nya maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui dewan ICAO.
Mengenai larangan terbang yang diberlakukan secara unilateral oleh Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia, hal ini tidak termasuk dalam hal perbedaan interpretasi dan implementasi dari konvensi dan annex-nya. Jika demikian maka penggunaan ketentuan penyelesaian sengketa dalam konvensi Chicago 1944 tidak dapat diberlakukan dalam sengketa di atas.
Penyelesaian sengketa yang utama sudah pasti adalah melalui negosiasi. Negosiasi yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil dicabutnya larangan terbang tersebut. Indonesia harusnya mengajukan keberatan kepada ICAO, sebab Indonesia sedang berusaha untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangang sipilnya. Komitmen tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam deklarasi yang dilakukan antara Indonesia dengan ICAO di Bali tanggal 2 Juli 2007. Indonesia kemudian meminta kepada ICAO untuk meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional, apakah tindakan unilateral Uni Eropa dapat dibenarkan. Alasan yang dapat dikemukakan oleh Indonesia adalah bahwa dengan adanya larangan tersebut maka Indonesia khususnya pengangkut Indonesia mengalami kerugian secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang, melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”.
Usaha tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan Indonesia selain juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil komersil. Hal tersebut perlu dilakukan karena apabila larangan terbang tersebut dibiarkan berlarut-larut maka citra penerbangan sipil Indonesia menjadi buruk. Efek dari citra tersebut akan berdampak pada posisi Indonenesia dalam pergaulan masyarakat internasional.
BAB III
SIMPULAN
SIMPULAN
Berdasarkan penjabaran latar belakang dan permasalahan serta pembahasan di atas, maka penulis mengambil simpulan sebagai berikut:
1. Tindakan unilateral Uni Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia tidak melanggar hukum internasional. Hukum internasional menjamin setiap negara untuk mengatur kegiatan di ruang udaranya. Tindakan tersebut merupakan bagian dari kedaulatan negara yang absolut dan ekslusif berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Alasan yang dikemukakan oleh Uni Eropa didasarkan dari fakta yang relevan, yaitu hasil audit dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang merupakan otoritas utama dalam penerbangan sipil internasional. Meskipun tindakan Uni Eropa dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan kedaulatan negara, namun apa yang dilakukan Uni Eropa bukanlah tindakan yang bijaksana. Harusnya Uni Eropa lebih baik memberikan bantuan teknis ketimbang memberlakukan larangan terbang.
2. Usaha penyelesaian sengketa yang mungkin dilakukan oleh Indonesia sebagai pihak yang dirugikan adalah melakukan protes kepada ICAO serta menyarankan agar ICAO meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional. Selain itu Indonesia juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil-nya.
1. Tindakan unilateral Uni Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia tidak melanggar hukum internasional. Hukum internasional menjamin setiap negara untuk mengatur kegiatan di ruang udaranya. Tindakan tersebut merupakan bagian dari kedaulatan negara yang absolut dan ekslusif berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Alasan yang dikemukakan oleh Uni Eropa didasarkan dari fakta yang relevan, yaitu hasil audit dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang merupakan otoritas utama dalam penerbangan sipil internasional. Meskipun tindakan Uni Eropa dapat dibenarkan jika dikaitkan dengan kedaulatan negara, namun apa yang dilakukan Uni Eropa bukanlah tindakan yang bijaksana. Harusnya Uni Eropa lebih baik memberikan bantuan teknis ketimbang memberlakukan larangan terbang.
2. Usaha penyelesaian sengketa yang mungkin dilakukan oleh Indonesia sebagai pihak yang dirugikan adalah melakukan protes kepada ICAO serta menyarankan agar ICAO meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional. Selain itu Indonesia juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar