Selamat Datang

Selamat Datang, Semoga Bermanfaat Bagi Para Pencari Referensi dan Pengunjung Yang Telah Membaca, Terima Kasih
" Law is as Social Tool Enginering"

Senin, 14 November 2011

Sekedar Pendapat


TARIK ULUR RESHUFFLE KABINET SEBAGAI WUJUD REKONSILIASI NASIONAL 2011 TERSANDERA DINAMIKA POLITIK DAN HUKUM
Oleh : Rengga Yudha Santoso, Fakultas Hukum UMM 2009, (Opini Bestari)
Politik identik dengan sebuah “kekuasaan”, karena berpolitik berarti memperebutkan sebuah kekuasaan entah kekuasaan tersebut bersifat absolut (mutlak) atau transparansi. (Von Savigny 1788) melalui kajian sosiologisnya menjelaskan bahwa “Hukum merupakan sebuah norma yang dibuat melalui hal yang terkecil hingga terbesar didalam sebuah komunitas masyarakat dan kemudian barulah dikodifikasikan menjadi sebuah kode etik yang baku”.
Negara Indonesia tersusun sebagai Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machtstaat). Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.
Tentang relasi antara hukum dan politik adalah tentang bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Menurut JJ. Rousseau dalam Due Contract Social, menjelaskan “keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri”.
Simpang siur reshuffle kabinet merupakan cermin kekusutan koalisi partai pendukung pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Ketidakberesan itu bahkan terjadi sejak awal. Selain tidak lazim dalam sistem presidensial, koalisi banyak partai yang diciptakan Presiden Yudhoyono rentan konflik kepentingan. Selama satu setengah tahun ini, partai pendukung koalisi kerap bermain “dua muka”: sekali waktu memihak pemerintah, lain kali membela kepentingan sendiri. Dalam kasus Century, contohnya, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera serta Partai Persatuan Pembangunan tak sejalan dengan pendukung koalisi yang lain. Tindakan Partai Golkar dan PKS, yang melawan partai pemerintah dalam angket “mafia pajak”, belum lama ini, merupakan contoh lain.
Perbedaan sikap politik ini akibat banyak hal mendasar. Komunikasi di antara anggota koalisi jelas bermasalah. Bukan hanya antaranggota koalisi yang tersendat, bahkan antara Partai Demokrat dan Presiden pun kerap terjadi distorsi. Soal reshuffle yang menyita perhatian publik berbilang bulan ini bisa menjadi bukti. Partai Demokrat menyiratkan ingin penggantian beberapa pos menteri yang sekarang diduduki Partai Golkar dan PKS. Presiden Yudhoyono berkali kali pula menganggap pelaksanaan hak prerogatifnya itu tak bisa dijalankan sekenanya.
Dengan tingkat komunikasi selemah itu, sulit terjadi sinergi yang memadai. Bahkan tampak tak ada agenda jelas dalam koalisi. Tak pernah juga kelihatan strategi penggalangan untuk memenangkan agenda tertentu. Akhirnya, koalisi pendukung pemerintah lebih mirip benteng untuk melindungi pemerintah dari serbuan “oposisi”. Kentara betul koalisi hanya dimaksudkan menjaga agar tak ada pemakzulan atas diri Presiden. Ternyata, maksud itu pun tidak sepenuhnya aman-meski jalan ke arah pemakzulan sangat sangat sulit. Kita tahu kekuatan “oposisi” itu tak lebih dari 25 persen suara saja di DPR. Tapi, dalam angket “mafia pajak”, pemerintah hanya sanggup unggul dua suara melawan kubu yang ingin meloloskan angket. Artinya, “musuh politik” pemerintah bukan partai “oposisi” saja, tapi juga anggota koalisinya.
Partai politik anggota koalisi memang bersikap oportunistik. Mereka bergabung dalam koalisi demi menempatkan menteri di kabinet-barangkali juga demi “rezeki” dari proyek proyek di kementeriannya-tapi partai tak mau sepenuhnya mengikuti garis pemerintah. “Pembangkangan” terhadap garis pemerintah di satu sisi bisa dilihat sebagai cara mempertahankan identitas diri. Bagi partai, identitas dan perbedaan pandangan politik dengan pemerintah merupakan nilai jual penting dalam pemilu. Maka, selama tak ada kesepakatan yang jelas dan mengikat dalam koalisi, juga tanpa adanya leadership kuat pemimpin koalisi, rasanya “tikam menikam” di antara anggota koalisi akan selalu terjadi.
Melakukan reshuffle dengan mencopot menteri yang partainya “membelot” akan menambah ketaklaziman praktek pemerintahan bergaya parlementer ini. Tak ada larangan untuk melakukannya, tapi hendaknya kinerja menteri dan efektivitas kabinet menjadi pertimbangan utama. Kita tahu, sejak awal periode kedua Yudhoyono, pengisian beberapa kementerian tidak didasari prinsip the right man in the right place-termasuk menteri dari dua partai yang “membangkang”. Kinerja kabinet sekarang ini tak bisa disebut kinclong. Bila Presiden mengganti menteri berkinerja rendah, di antaranya termasuk dari partai “pembelot”, itu sudah memberikan sinyal bahwa ia tak main main dengan kinerja kabinet. Sekaligus menunjukkan ia tak lagi membiarkan “musuh dalam selimut” berleha leha di biduknya. Pengaruh politik memang seakan-akan menjadi musibah bagi rakyat kecil, maka disitulah letak tersanderanya rekonsiliasi nasional 2011, bingung dengan urusan parpol, bingung dengan urusan gedung baru DPR, harapan rakyat detik demi detik menit demi menit, tahun demi tahun terhapus bagai ditelan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar