Akses masyarakat terhadap keadilan dan system peradilan yang fair dan imparsial sebagai hak dasar
Sudah terlalu lama keberadaan hukum di Indonesia menjadi perhatian serius dan tajam dari banyak kalangan. Hal ini disebabkan oleh kegagalannya dalam menjalankan fungsi sebagai suatu lembaga yang melindungi dan memberikan keadilan dalam masyarakat. Tidak sedikit yang dengan sinis mengumpamakan hukum Indonesia sedang sakit berat yang sudah semestinya dilarikan ke ruang gawat darurat” dan pendapat yang lebih sarkasme bahkan menyatakan hukum Indonesia mengalami “proses pembusukan”.
Buruknya citra lembaga peradilan juga disebabkan adanya pergeseran peran lembaga peradilan sebagai institusi yang diharapkan dapat menyelesaikan sengketa atau perkara dengan mengedepankan keseimbangan kepaastian hukum dan nilai keadilan, berubah menjadi institusi yang lebih mengedepankan pertarungan untuk memperebutkan kemenangan. Dalam konteks ini, para pihak yang bersengketa menggunakan berbagai cara untuk memenangkan perkaranya, antara lain dengan cara menyuap, menyogok, memberikan bingkisan atau kado, atau cara-cara lain yang lebih tidak terlihat seperti kolusi dan nepotisme. Pergeseran orientasi dan budaya hukum masyarakat inilah menjadi pemicu tumbuh suburnya praktik “mafia peradilan” di semua bidang penanganan atau pemeriksaan perkara, baik pidana, perdata maupun administrasi Negara. Keadaan ini semakin diperburuk dan bersinergi dengan kinerja aparat penegak hukum yang cenderung tidak berpegang pada kode etik profesi, lemahnya pengawasan internal terhadap profesi aparat penegak hukum serta rendahnya kualitas profesionalitas mereka. Kondisi ini menumbuh suburkan praktik korupsi di lembaga peradilan : kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang sulit dibuktikan dan dibongkar melalui prosedur yang digunakan oleh sistem hukum pidana.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktik peradilan merupakan akibat banyaknya kelemahan sistem birokrasi peradilan dan lemahnya moralitas aparat penegak hukum, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. masyarakat juga mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal itu bila sedang berperkara. Umumnya, mereka berprinsip “harus menang” apapun resikonya, termasuk melalui uang. Kondisi psikologis demikian itu dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum. Namun, apabila hakimnya baik semua itu tidak ada artinya karena kata kunci perbaikan yang pertama terletak pada hakim. Akan tetapi, hakim yang baik saja tidak cukup, harus juga didukung yang lain. Penyebabnya juga bisa karena kebutuhan, tetapi yang pasti karena adanya peluang dan ruang yang bebas. Penyebab lainnya karena adanya celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan penyelewengan seperti panjangnya birokrasi mulai dari kepolisian sampai pengadilan.
Pengadilan dan sistem peradilan yang ada sekarang dirasa tidak memadai lagi untuk menyalurkan keinginan masyarakat memperoleh keadilan. Struktur pengadilan yang dibangun dirasakan tidak mampu lagi melawan gelombang tuntutan keadilan yang memasuki pengadilan. Struktur tersebut didasarkan pada desain formal untuk memasuki pengadilan. tidak setiap orang begitu saja dapat mengetok pintu pengadilan untuk meminta keadilan, melainkan harus melalui liku-liku prosedur formal.
Lemahnya posisi tawar dan akses masyarakat miskin terhadap keadilan dan sistem peradilan yang fair dan imparsial, mendorong lahirnya gerakan “access to justice movement”. Gerakan ini kemudian berakumulasi dan berkolaborasi dengan kepentingan golongan yang lebih bermacam-macam, seperti konsumen, buruh, dan lingkungan hidup.
Gerakan memperkuat akses masyarakat terhadap keadilan dan sistem peradilan mempunyai peran yang strategis dalam mengontrol persidangan. Opini publik masyarakat akan sangat efektif untuk menjaga agar hakim tetap berjalan pada koridor hukum. Namun demikian partisipasi masyarakat ini terkendala dengan kurang terbukanya akses untuk memperoleh informasi praktik peradilan, baik dalam penentuan hakim, standar biaya, dan salinan putusan hakim. Adapun bentuk partisipasi masyarakat dalam mengontrol persidangan antara lain sebagai berikut:
a. Pengawasan proses peradilan dan budaya hukum masyarakat
b. Eksaminasi di luar pengadilan
Eksaminasi public: bentuk aksi pengawasan masyarakat atas kualitas putusan pengadilan negeri
Salah satu bidang fundamental yang saat ini mendapat sorotan tajam adalah krisis putusan hakim pengadilan negeri. Krisis adalah keadaan tidak normal, oleh karena berbagai institusi yang disiapkan untuk menata proses-proses dalam masyarakat tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Putusan hakim pengadilan negeri misalnya, semakin kehilangan pamornya sebagai media masyarakat memperoleh keadilan. Ia lebih dipakai dan didominasi oleh kepentingan dan kekuasaan. Mereka tidak lagi berada pada posisi otoritatif untuk menata dan mengendalikan proses ekonomi, politik, dan sebagainya. Singkatnya, putusan hakim tidak lagi bekerja secara otentik.
Eksaminasi public sebagai salah satu fungsi pengawasan proses peradilan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pengawasan yang lain. Keterlibatan masyarakat dalam ikut melakukan pengawasan dan mengkritisi putusan hakim yang kontroversial harus teus didorong, difasilitasi, dan diberdayakan agar masyarakat memiliki kecerdasan dan keberanian menilai putusan hakim yang selama ini tidak tersentuh masyarakat.
Kalangan akademisi dan organisasi non pemerintah memiliki peran strategis dalam memberikan pembelajaran hukum kritis kepada masyarakat. Hal ini sangat berguna untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mencermati dan menganalisis putusan hakim agar kegiatan eksaminasi publik tidak terkesan elitis. Kegiatan publik yang terus menerus dan konsisten dalam melakukan pengawasan terhadap putusan hakim pengadilan negeri diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berarti membangun dunia peradilan yang bersih, berwibawa, dan partisipatif.
Mediasi dan advokasi bidang hokum: konsep dan implementasinya
Masyarakat saat ini dihadapkan pada berbagai pilihan penyelesaian konflik atau sengketa sesuai dengan tingkat kepentingan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam memandang konflik atau sengketa itu sendiri. Konflik atau sengketa dapat diselesaikna melalui mekanisme litigasi, nonlitigasi maupun advokasi. Masing-masing mekanisme penyelesaian sengketa tersebut memiliki persyaratan, karakteristik, dan kekuatan berlakunya yang satu sama lain tidaklah sama.
Sebagai aktivis gerakan, apapun bentuk lembaganya, memerlukan keterampilan dalam melakukan mediasi maupun advokasi. Pemahaman kemampuan dan posisi diri dalam organisasi akan memberikan kearifan aktivis untuk memilih bidang dan isu apa yang akan digeluti dan didalami secara konsisten. Keterbatasan kemampuan aktivis secara individu dan organisasi inilah menuntut dan membutuhkan kerja jaringan, baik jaringan informasi maupun kerjasama program aksi.
Mengingat cepatnya perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di masyarakat, seorang aktivis mau tidak mau harus melakukan refleksi dan aksi setiap kali selesai melakukan kegiatan mediasi maupun advokasi guna melakukan evaluasi tingkat keberhasilan atau perkembangan atas kegiatan yang telah dilakukan. Pada gilirannya proses evaluasi lebih banyak diarahkan untuk semakin memperkuat korban atau subjek agar memiliki nilai tawar dan semakin berdaya menghadapi problematika kehidupan yang selalu menerpanya dalam mewujudkan keadilan sosial yang didambakan.
Kepekaan dan keberpihakan aktivis terhadap masyarakat yang tersingkir dan terpinggirkan dalam proses pembangunan sangat diperlukan. Hal ini mengingat banyak kebijakan publik dan proses-proses penyelesaian sengketa yang tidak selalu ramah dan menguntungkan mereka , bahkan acap kali sengaja didisain untuk semakin menerpurukkan mereka tanpa memiliki nilai tawar sama sekali. Dalam konteks inilah mediasi dan advokasi sosial sangat dibutuhkan kehadirannya oleh mayoritas masyarakat yang tidak diuntungkan dalam proses percepatan pembangunan, seperti buruh tani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin perkotaan, buruh industri, perempuan dan anak korban kekerasan dan perdagangan, korban kejahatan HAM, pencemaran lingkungan, dan lain-lain.
Patipatory action research (PAR) : Sebagai salah satu metode pelaksanaan penelitian pemberdayaan masyarakat
PAR baik sebagai pendekatan maupun metode, saat ini banyak dikenal dan digunakan oleh kalangan LSM/ornop dan perguruan tinggi. Pendekatan dan metode ini memberikan banyak harapan bagi terlaksananya satu pemberdayaan masyarakat dan tranformasi sosial menuju bentuk yang ideal dan menguntungkan lapis bawah di masyarakat. Hal ini tidak lain karena ideology pemihakan pada komunitas lapis bawah yang tersingkir dan terpinggirkan dalam proses pembangunan yang secara struktural terjadi ketimpangan dan ketidakadilan.
Walaupun secara konseptual metode PAR terkesan sangat ideal, namun pelaksanaannya tidak semudah teori di atas kertas terutama ketika terdapat kecenderungan politik pemerintah yang sangat represif dan sangat feudal. Dalam praktiknya acapkali muncul berbagai permasalahan , baik pada tataran konseptual, strategis, dan teknis. Pada tataran konseptual permasalahannya adalah bagaimana mengalihkan control dan wewenang dari tangan peneliti ke tangan komunitas. Pada tingkat strategis persoalannya terletak pada penentuan strategis mana yang paling sesuai dan layak untuk dikerjakan. Pada tingkat teknis berkutat pada intensitas keterlibatan peneliti dan kelemahan menorganisasikan dokumentasi.
Strategi pemberdayaan dan pengorganisasian rakyat untuk perubahan
Orde reformasi telah memasuki babakan baru, khususnya dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan presiden secara langsung tahun 2004. Selama hampir tujuh tahun terakhir ini struktur politik dan ketatanegaraan mengalami banyak perubahan. Reposisi kewenangan pemerintah pusat-daerah, dwi fungsi ABRI, polri, kebebasan pers, dan lahirnya mahkamah konstitusi, serta lahirnya beberapa badan dan komisi bentukan presiden, seperti badan penyehatan perbankan nasional (yang telah dilikuidasi), komisi konstitusi dan komisi pemberantas korupsi telah mewarnai babakan baru perpolitikan dan ketatanegaraan di Indonesia.
Orde reformasi secara ideologis normatif berusaha menyeimbangkan sistem dan formasi sosial yang ada dewasa ini, yaitu Negara (state), pasar (market), dan masyarakat sipil (civil society). Hakikatnya, ketiganya memiliki visi masing-masing mengenai masyarakat di masa mendatang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Namun sayang, berbagai upaya dan peluang untuk mendorong terwujudanya masyarakat sipil (civil society) belum juga terwujud, bahkan berkecenderungan semakin menguatnya instrument masyarakat birokratis (bureaucratic society). Posisi birokrasi Negara semakin menguat dan tidak lagi terkontrol oleh masyarakat sipil (civil society) yang semakin lemah dan kehilangan hak-hak dasarnya.
Tujuan dan fungsi alternative penyelesaian sengketa (alternative disputes resolution) dalam perspektif historis sosiologis dan politik hukum
Alternative dispute resolution atau ADR dalam praktik di Indonesia masih relatif baru, meskipun prinsip-prinsipnya telah lama dijalankan oleh banyak komunitas adat di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa. Model ini cukup popular di amerika serikat dan eropa. ADR merupakan istilah asing yng perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenankan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti pilihan penyelesaian sengketa (PPS), mekanisme alternatif penyelesaian sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang kooperatif.
Istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensus hanya dapat dilakukan di luar pengadilan (out court). Sedangkan saat ini, dibutuhkan juga dalam pengadilan (court annexed atau court connected).
Dalam perspektif antropologi hukum, tata cara penyelesaian sengketa secara damai atau dikatakan sebagai ADR telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.hal ini dapat dilihat dalam hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi keputusan adat bagi sengketa yang ada di antara warganya.
Penetapan teknik negosiasi : Sebagai alternatif menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan
Negosiasi merupakan suatu teknik memengaruhi dan meyakinkan pihak lain untuk menggunakan kemampuan yang ada demi menyelesaikan suatu konflik. Orang bernegosiasi dalam situasi yang tidak terhitung jumlahnya ketika mereka membutuhkan atau menginginkan sesuatu yang dapat diberikan ataupun ditahan oleh orang/pihak lain bila mereka menginginkan untuk memperoleh kerjasama, bantuan atau persetujuan orang lain, atau ingin menyelesaikan atau mengurangi persengketaan atau perselisihan.
Pada dasarnya, negosiasi merupakan permulaan dari suatu proses pembelajaran, penyesuaian, dan pembangunan hubungan. Tidak ada kesepakatan yang sempurna dikarenakan munculnya situasi yang tidak diharapkan serta adanya kesalahpahaman terhadap tujuan sebenarnya dari kata-kata yang digunakan. Dengan demikian, dapat dikatakan negosiasi bukanlah suatu proses yang statis, tetapi merupakan suatu proses yang interaktif dan dinamis.
Dalam bernegosiasi, para negosiator sering menggunakan banyak taktik untuk mendapatkan yang terbaik dan terbanyak dari negosiasi tersebut. Untuk itu tidak jarang mereka juga menggunakan taktik menekan dan taktik-taktik kotor. Pihak lawan, tidak jarang menggunakan suatu kekuatan ancaman secara aktual. Pejabat-pejabat pemerintah dan para pengusaha sering berusaha membuat lawannya merasa miskin atau tolol.
Dalam proses negosiasi yang menggunakan strategi bekerjasama atau penyelesaian masalah, terdapat beberapa prinsip dasar penerapan teknik negosiasi yang patut dijadikan acuan sebagai berikut.
1. Harus ada saling percaya dalam derajat tertentu yang membangun rasa saling percaya antara pihak-pihak yang bertikai.
2. Menciptakan kejernihan. Tanpa informasi yang cukup dan akurat, tidak ada keputusan yang komprehensif dan tahan lama yang bisa dicapai.
3. Menciptakan saling pengertian. Semua isu harus dipahami secara penuh untuk memulai fase penyelesaian masalah dan membangun solusi.
4. Melakukan tindakan. Ketika informasi sudah dikumpulkan dan rasa percaya sudah berkembang dan saat posisi masing-masing menjadi sangat jelas, fase penyelesaian masalah dimulai.
Konflik hukum di sektor kelautan dan pesisir : Suatu kajian substansi hukum
Rencana aksi strategis pembaruan hukum di bidang pengelolaan kelautan dan pesisir untuk memperjuangkan nelayan agar dapat menjadi bagian integral dalam sebuah proses pembangunan nasional merupakan sebuah keniscayaan yang mendesak untuk segera diwujudkan. Beberapa substansi yang mendasar dan seharusnya diakomodasi dalam pengaturan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir, antara lain kelestarian sumberdaya, perizinan, retribusi, dan andon.
Salah satu upaya perubahan hukum dapat dimulai melalui perubahan paradigmatik dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir. Paradigma lama yang berorientasi pada dominasi Negara, sentralistik, dan represif harus sudah ditinggalkan dan seharusnya mulai diubah dengan paradigma baru yang lebih demokratis, partisipatif, transparansi, memperhatikan keberlanjutan sumber daya kelautan dan pesisir. Serta berbasis pada kearifan masyarakat nelayan lokal.
Eksploitasi sumber daya pesisir dan kelautan secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan pasar komersial telah terbukti merusak lingkungan, mengurangi keanekaragaman hayati, dan yang paling parah yakni menghancurkan sumber ekonomi masyarakat lokal, seperti banyak dialami oleh masyarakat pesisir utara jawa, Maluku, bali, Sulawesi, sumatera, papua barat serta tempat lain di wilayah pesisir Indonesia. Sistem alokasi dan pengelolaan pesisir dan lautan yang terpusat (sentralistik) dengan dominasi Negara ternyata menyebabkan terabaikannya perbedaan (disparitas) sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan lokal.
Penguatan dan pengembangan pranata organisasi masyarakat lokal di daerah pesisir perlu terus dilakukan secara intensif dan berkesinambungan agar masyarakat memiliki posisi tawar yang memadai baik dalam penyelesaian konflik atau mempertahankan hak untuk mengakses sumberdaya pesisir dan lautan guna menjamin tingkat kesejahteraan hidup yang lebih manusiawi. Dengan cara demikian, masyarakat lokal dan pemerintah daerah dapat memahami keberadaan pranata lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemahaman ini sangat dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Akses pengembangan jaringan informasi dan kerjasama masyarakat lokal dengan organisasi masyarakat lain, ornop dan perguruan tinggi harus dipermudah. Masyarakat lokal harus diberdayakan untuk dapat meraih lebih mudah mengakses jaringan tersebut guna memperkuat eksistensi pranata kelembagaan dan hukum yang dimiliki. Hal ini sangat penting bagi masyarakat lokal dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan pihak pemerintah atau pemilik modal swasta yang tidak dapat diselesaikan sendiri, dapat memperoleh dukungan dari masyarakat lain atau lembaga lain yang bersimpati dan ingin memberikan bantuan atau melakukan advokasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar