TUGAS TAKE HOME UJIAN TENGAH SEMESTER (U.T.S)
TENTANG ANALISA NILAI KEABSAHAN
VIDEO TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA, PERDATA, AGAMA, PTUN & PRO-KONTRA TERHADAP NILAI KEABSAHAN VIDEO TELECONFERENCE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN
Oleh :
Nama : Rengga Yudha Santoso
Nim : 09400147
Kls : A
Teleconference adalah sebuah panggilan teleconferensi yaitu suatu metode pertemuan yang digunakan ketika semua, atau beberapa peserta rapat dalam lokasi fisik yang berbeda. Setiap peserta dalam sebuah panggilan teleconference kemungkinan diminta untuk dial-in ke sebuah lokasi sentral, baik yang telah ditetapkan, konferensi bebas pulsa nomor telepon, atau hanya ke nomor di dalam bisnis. Jenis pertemuan teleconference menjadi lebih dan lebih umum sekarang bahwa telecommuting adalah praktek yang populer, dan juga di kalangan bisnis dengan berbagai lokasi nasional atau internasional. Atau Video teleconference merupakan sarana berkomunikasi antar orang melalui media jaringan. Seperti kita ketahui bahwa video teleconference menggunakan bandwith yang cukup besar karena data yang dikirim berupa data video.
1. KEABSAHAN ALAT BUKTI VIDEO TELECONFERENCE DALAM PERKARA PIDANA
A. Analisa :
Menurut Prof. Achmad Ali akademisi yang juga anggota Komnas HAM tersebut menyarankan masalah teleconference perlu diatur secara tegas, berdasarkan kaidah equal justice under law. Jadi, dapat berlaku umum bukan hanya untuk orang tertentu saja dan beliau berpendapat bahwa selama teleconference belum diatur dalam hukum positif Indonesia, maka teleconference tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Karena itu, keterangan saksi dengan menggunakan teleconference tidak sah dengan alasan bahwa “sesuai pasal 174 ayat 1 dan 2 KUHAP, pada hakikatnya, fungsi sumpah bagi seorang saksi adalah agar saksi itu dapat dituntut berdasarkan delik pidana bila memberikan keterangan palsu sesuai pasal 242 KUHP”. Pendapat Ali ini bertentangan dengan pendapat hakim agung Muchsan dan hakim pengadilan Tinggi Jawa Barat Arsyad Sanusi. Kedua hakim ini berpendapat teleconference sah sebagai alat bukti saksi. Menurut Muchsan, teleconference adalah sebuah terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Menurutnya, jika suatu hal belum diatur, maka itu tidak berarti hal itu menjadi dilarang. Apalagi, teleconference dilakukan demi kemanfaatan dan demi kepentingan umum. Senada dengan Mucsan, Arsyad menyatakan bahwa keterangan saksi melalui teleconference adalah keterangan saksi yang nilainya sama dengan saksi yang disumpah.
Arsyad mencontohkan berbagai persidangan di Amerika Serikat yang menggunakan teleconference. Menurut Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendera mengatakan, pelaksanaan teleconference dalam sebuah sidang boleh dilakukan. Keterangan dari teleconference tersebut dapat menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin, prof. Andi Hamzah dan Wakil Ketua DPP Ikadin, Gayus Lumbuun mempunyai pendapat senada dengan Prof. Achmad Ali. Menurut Andi Hamzah dan Gayus Lumbuun, teleconference bukanlah merupakan alat bukti saksi. Teleconference hanya dapat dijadikan alat untuk menguatkan keyakinan hakim.
Berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi. Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat dari pengertian seperti yang disampaikan R. Soesilo bahwa yang dimaksud kesaksisan yaitu keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu). Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah.(R.Soesilo,1979).
Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.
Teleconference memang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan.
Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
1. Yang ia dengar sendiri,
2. Ia lihat sendiri dan
3. Ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya. Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam hal ini jangan sampai penggunaan teknologi teleconference justru melanggar katentuan asas dalam pengadilan pidana karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologi teleconference tersebut.
B. Kesimpulan :
Dengan dipenuhinya asas biaya ringan dalam beracara ketika memanfaatkan teknologi teleconference, maka permasalahan diskriminasi hukum dapat diatasi. Disinilah peran pemilihan teknologi yang tepat sehingga diperoleh efisiensi biaya yang murah, sehingga dengan terjangkaunya biaya teleconference maka teknologi inipun dapat digunakan setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap perlu oleh majelis hakim. walau seseorang tidak hadir di pengadilan, tetapi karena dia sudah di bawah sumpah, maka dapat dipakai sebagai alat hukum yang sah. Itulah batasan kesaksian dengan menggunakan teleconference. Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Kenapa? Karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi.
Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur dalam pasal 26 A UU No.31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tidak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
· Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
· Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekan secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Pemanfaatan media Teleconference dalam rangka pengungkapan kebenaran materiil, di samping transparansi terhadap proses pemeriksaan sidang untuk disaksikan oleh masyarakat, akan bermanfaat dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan serta menimbulkan kerugian salah satu pihak haruslah cukup dipandang keberadaannya sebagai keterangan tambahan yang dapat menambah keyakinan hakim dan dipahami secara objektif oleh Jaksa dan Terdakwa atau Penasehat Hukumnya, tetapi tidak diposisikan secagai Alat Bukti yang secara limitatif telah diatur oleh undang-undang, Penggunaan teleconference sebagai penganalogian dari keterangan saksi dan seorang hakim dalam perkara pidana terikat oleh Azas Legalitas dan “analogi dilarang untuk digunakan dalam perkara pidana”. Walau demikian, seluruh pembicara sepakat bahwa di masa datang teleconference harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Entah dalam revisi KUHAP, dalam UU tersendiri mengenai pengunaan teknologi modern yang lex specialis terhadap KUHAP, atau dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
C. Referensi :
Blog Muhammad Rustamaji : Nilai Pembuktian Pemanfaatan Teknologi Teleconference Sebagai Alat Bantu Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Pengadilan Negeri Bogor. “KEABSAHAN MEDIA TELECONFERENCE MENURUT KUHAP”http://www.mahkamahagung.go.id/webda/index.asp?LT=01&tf=2&WID=1098&idnews=669
Pendapat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin, prof. Andi Hamzah dan Wakil Ketua DPP Ikadin, Gayus Lumbuun, dan Prof. Achmad Ali, akademisi yang juga anggota Komnas HAM. Pemeriksaan Via Teleconference Bagaimana Pemeriksaan Via Teleconference Dan Bap Dari Luar Negeri / Asing Dapat Diakui Keabsahan Hukum Di Indonesia.http://ditpolairdajambi.blogspot.com/2009/02/pemeriksaan-via teleconference.html
2. KEABSAHAN ALAT BUKTI VIDEO TELECONFERENCE DALAM PERKARA PERDATA
A. Analisa :
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.
Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut.
· Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
· Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui, dan dialami sendiri.
· Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
· Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
· Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.
· Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).
· Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.
Video Teleconference, sepenuhnya belum dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian perkara perdata, dengan alasan bahwa penggunaan teknologi teleconference ini memang tidak sepenuhnya disetujui oleh pakar-pakar hukum dan praktisi hukum di Indonesia. Satu sisi menyetujui kesaksian yang disampaikan secara teleconference tersebut, sedangkan banyak pula dari kalangan pakar dan praktisi hukum yang tidak setuju apabila kesaksian dari seorang saksi dilakukan secara teleconference atau tidak hadir secara langsung didalam acara persidangan. Hal tersebut dikarenakan memang saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu keterangan saksi dalam bentuk teleconference dapat dijadikan sebagai kesaksian yang sah di pengadilan yang dapat dipersamakan dengan kesaksian secara langsung di muka pengadilan.
B. Kesimpulan :
Saat ini belum ada suatu kesepakatan hukum dari para praktisi hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu keterangan saksi dalam bentuk teleconference dapat dijadikan sebagai kesaksian yang sah di pengadilan yang dapat dipersamakan dengan kesaksian secara langsung di muka pengadilan. Namun seorang hakim dalam perkara Perdata terikat dengan sistem pembuktian positif, yaitu pembuktian yang semata-mata berdasarkan alat bukti tanpa memsaukkan keyakinan hakim, maka apabila video teleconference dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian di persidangan, maka hakim dapat melakukan penganalogian terhadap alat bukti tersebut, karena menurut pendapat hakim agung Muchsan dan hakim pengadilan Tinggi Jawa Barat Arsyad Sanusi bahwa video teleconference sah sebagai alat bukti saksi. Menurut Muchsan, teleconference adalah sebuah terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding). NB : Hakim dapat melakukan analogi untuk menemukan hukum (rechtsvinding) setelah melakukan tiga tahap yaitu :
· Mengkonstantir Perkara;
· Mengkwalifisir Perkara;
· Mengkonstitutir Perkara.
dan demi terciptanya keadilan bagi pencari keadilan, hanya dapat dilakukan hanya sebatas perkara dalam kebenaran formil, bukan perkara dalam kebenaran materiil.
C. Referensi :
Pendapat hakim agung Muchsan dan hakim pengadilan Tinggi Jawa Barat Arsyad Sanusi. Pemeriksaan Via Teleconference Bagaimana Pemeriksaan Via Teleconference Dan Bap Dari Luar Negeri / Asing Dapat Diakui Keabsahan Hukum Di Indonesia. http://ditpolairdajambi.blogspot.com/2009/02/pemeriksaan-via-teleconference.html
3. KEABSAHAN ALAT BUKTI VIDEO TELECONFERENCE DALAM PERKARA AGAMA
A. Analisa
Didalam perkara Peradilan Agama, Video Teleconference dapat dijadikan sebagai alat bukti, karena Video Teleconference dapat dikatakan sebagi pengembangan alat bukti dan pada akhirnya dapat menjadi yurisprodensi, serta didalam ranah perkara agama tidak menutup kemungkinan juga diadakan perkawinan menggunakan Teleconference. Mengingat persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi.
B. Kesimpulan :
Bahwa didalam perkara agama terkait dengan video teleconference dapat dijadikan sebagai alat bukti didalam suatu persdidangan, dan tidak menutup kemungkinan perkawinan menggunakan teleconference dapat dilangsungkan, karena melihat prinsip dari azas biaya ringan dan cepat, serta disumpah pada waktu sidang dan pada dasarnya acara pemeriksaan saksi melalui teleconference itu dikhawtairkan ada tekanan kepada saksi ketika diminta keterangannya secara langsung.
C. Referensi
http://fathullaw.blogspot.com/2011/03/keabsahan-keterangan-saksi-lewat_18.html
4. KEABSAHAN ALAT BUKTI VIDEO TELECONFERENCE DALAM PERKARA P.T.U.N
A. Analisa :
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah :“segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”. Didalam perkara PTUN video teleconference dapat dijadikan sebagai alat bukti didalam pemeriksaan perkara, dengan dasar bahwa apabila saksi berada jauh dari pengadilan yang menunjuk dia untuk hadir didalam persidangan, maka tentunya dapat menggunakan Teleconference, seharusnya undang-undang tidak selalu stagnasi dalam mengembangkan suatu metode pembaharuan dengan menggunakan Teleconference ini
B. Kesimpulan :
Bahwa sebenarnya Video Teleconference dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah didalam suatu pemeriksaan didalam persidangan, selain sebagai pengembangan alat bukti, juga dapat melenturkan sedikit kekakuan hukum yang selalu stagnasi, dalam hal ini teleconference dapat dijadikan sebagai Yurisprodensi dalam memutus suatu perkara yang sama, bahkan dapat menjadi sebuah Ius Constitutum (hukum yang berlaku dimasa yang akan datang)
C. Referensi :
http://anggara.org/2011/03/19/teleconference-dan-kuhap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar