Oleh : Rengga Yudha Santoso, Law Faculty UMM
Kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan semakin marak terjadi, sehingga memerlukan penanganan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
Pencemaran dan atau perusakan lingkungan terjadi diakibatkan manusia tidak menyadari bahwa pola kehidupan harus memperhatikan hubungan timbal balik dengan lingkungannya, yaitu satu kehidupan manusia yang seimbang dan harmonis dengan sistem alam. Ketidaktaatan manusia terhadap peraturan mengenai lingkungan hidup menjadi pemicu maraknya kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penegakan hukum mempunyai makna bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, supaya tercipta ketertiban dalam masyarakat.
Hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada masyarakat, artinya peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan masyarakat. Hukum lingkungan menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindakan perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari pencemaran, perusakan dan merosotnya kualitas lingkungan mutu serta demi menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Melalui kegiatan Penegakan Hukum Lingkungan diharapkan dunia usaha dan masyarakat akan lebih sadar dan taat terhadap peraturan-peraturan di bidang lingkungan hidup yang berlaku, sehingga dapat mengurangi kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Barat. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan lingkungan secara konsekwen dan untuk memfasilitasi permasalahan kasus Pencemaran atau perusakan Lingkungan, dimana akan menghasilkan manfaat terselesaikannya masalah Sengketa Lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah.
KEARIFAN HUKUM ADAT SEBAGAI PEMBAHARUAN SISTEM HUKUM LINGKUNGAN
Meski Telah Ada Lebih Dari 300 Perundang-Undangan Yang Mengatur Masalah Lingkungan Hidup Selama 30 Tahun Terakhir, Ternyata Kondisi Lingkungan Hidup Di Indonesia Semakin Hari Semakin Rusak Dan Tercemar. Bahkan Saat Ini Pulau Jawa Terancam Terendam Lumpur Panas, Dan Terancam Dampak Dari Perubahan Iklim. Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan Sebagaimana Diatur Dalam Undang-Undang, Ternyata Tidak Dapat Mengantarkan Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia Saat Ini Lebih Baik Dari Kondisi Sebelum Diberlakukannya Undang-Undang Lingkungan Hidup.
“Seiring Semakin Kritisnya Kondisi Lingkungan Indonesia Saat Ini, Kiranya Penting Untuk Segera Mencari Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Sebagai Konsep Penegakan Hukum Lingkungan Alternatif Yang Efektif Dalam Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup,” Jelas H. Imamulhadi, Sh., Mh., Saat Mempertahankan Disertasinya Yang Berjudul “Penegakan Hukum Lingkungan Berdasarkan Kearifan Masyarakat Adat Dalam Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup” Pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (13/05).
Imamulhadi Yang Juga Dosen Fakultas Hukum Unpad Mengungkapkan, Bahwa Dalam Mewujudkan Satu Sistem Hukum Nasional Bukan Berarti Hukum Positif Mengabaikan Begitu Saja Nilai-Nilai Yang Berlaku Dimasyarakat. Artinya, Sistem Hukum Nasional Itu Harus Mengutamakan Hukum Adat Sebagai Hukum Aslinya Indonesia. “ Maka Dalam Pembinaan Hukum Lingkungan Nasional Ke Depan, Hendaknya Hukum Lingkungan Adat Harus Menjadi Tuan Rumah Di Negerinya Sendiri, Dengan Tetap Menerima Hukum Lingkungan Asing Sebagai Pelengkap,” Ungkap Imamulhadi.
Adapun Hukum Lingkungan Adat Yang Menjadi Warna Dasar Hukum Lingkungan Nasional Adalah Hukum Lingkungan Adat Yang Telah Ditransformasikan Melalui Proses Penapisan Menjadi Hukum Lingkungan Nasional. Dengan Demikian Dapatlah Diterima Bahwa Hukum Lingkungan Adat Harus Menjadi Sumber Utama Dalam Pembaharuan Menuju Suatu Sistem Hukum Lingkungan Pada Masa Yang Akan Datang.
Kontribusi Kearifan Masyarakat Adat Dalam Meningkatkan Ketahanan Lingkungan Nasional Adalah Dimana Masyarakat Adat Dalam Memanfaatkan Lingkungan Selalu Memperhatikan, Memelihara, Dan Meningkatkan Ketahan Lingkungan. Kearifan Demikian Dilandasi Oleh Asas Religious, Participerend Cosmisch, Dan Commuun Yang Selalu Menjadi Landasan Dalam Berfikir Dan Bertindak Bagi Masyarakat Adat Di Dalam Mengelola Dan Memanfaatkan Lingkungan.
Imamulhadi Yang Juga Staf Dosen Di Fakultas Hukum Unpad Menambahkan, Masyarakat Adat Dalam Mengelola Dan Memanfaatkan Lingkungannya Terikat Pada Suatu Norma-Norma Hukum Adat Yang Terkandung Didalamnya Keadilan Lintas Generasi, Dimana Selalu Menjadi Pedoman Dan Mengatur Hubungan Antara Masyarakat Adat Dengan Lingkungannya. Pedoman Tersebut Berisikan Perintah, Larangan, Dan Kewajiban Baik Tertulis Maupun Tidak Tertulis.
“Kewajiban Baik Tertulis Maupun Tidak Tertulis Tersebut Dalam Bentuk Pamali, Tabu, Pepatah Orang Tua, Pesan-Pesan Dan Nasihat-Nasihat Orang Tua Dan Leluhur,” Imbuhnya.
SANKSI HUKUM LINGKUNGAN LEMAH
Penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam serta Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia masih diselimuti kabut sehingga berpengaruh signifikan terhadap implementasi di lapangan. Demikian diungkap Pakar hukum lingkungan Universita Brawijaya (Unibraw) Malang Prof I Nyoman Nurjaya saat dihubungi di Malang, Jumat.
Hal itu terjadi kata I Nyoman, karena faktor hukum dan kebijakan yang dituangkan dalam Undang-undang (UU) lebih banyak berpihak pada pengusaha tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan yakni kerusakan.
“Pelaku kejahatan lingkungan ini tidak pernah diakomodir seperti kejahatan luar biasa lainnya seperti illegal logging dan illegal fishing.Penegakan hukum di negeri ini masih parsial, padahal dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan lingkungan lebih parah dan berpengaruh terhadap ekosistem,” katanya menegaskan.
Ia mengakui, pihaknya bersama ahli hukum lain dari berbagai perguruan tinggi sudah berulangkali mengajukan revisi UU yang berkaitan dengan lingkungan terutama UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahkan pada awal rancangannya juga melakukan penolakan.
Tetapi, katanya, pemerintah dan legislatif yang membahas UU tersebut sama sekali tidak mendengarkan suara rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan juga tidak berpihak pada kelestarian lingkungan apalagi rakyat disekitar lokasi eksplorasi usaha baik pertambangan maupun perkayuan.
Menurut dia, memang tidak salah kalau pemerintah menggenjot devisa negara melalui optimalisasi SDA termasuk hutan dan pertambangan.”Tetapi pemerintah selalu lupa dengan perawatan lingkungan dan sumber daya hayati pascaeksploitasi SDA,” tegasnya.
Implikasi yang ditimbulkan dari praktik pemanfaatan SDA yang mengedepankan pencapaian target pertumbuhan ekonomi semata, kata Ketua program Pascasarjana Ilmu Hukum Unibraw itu, merupakan kegiatan pengurasan SDA yang secara perlahan menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas.
Laju kerusakan hutan di Indonesia rata-rata mencapai 1,8 juta hektare per tahun, sekitar 70 persen terumbu karang mengalami kerusakan akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom dan racun (sianida) serta pencemaran air laut oleh limbah industri.
Selain itu, sekitar 64 persen dari hutan bakau (mangrove) atau seluas 3 juta hektare mengalami kerusakan seius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan serta kegiatan pertambangan terbuka secara besar-besaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar